19 Juta Pekerja Indonesia Terancam PHK: Banjir Produk Impor Murah Jadi Biang Keladi
Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenprin) mengeluarkan peringatan keras bahwa sebanyak 19 juta pekerja di sektor manufaktur Indonesia berada di ujung tanduk. Ancaman ini muncul akibat melonjaknya produk impor murah yang membanjiri pasar domestik tanpa kendali memadai. Data ini mencuat seiring proyeksi Indeks Kepercayaan Industri (IKI) untuk Maret 2025, yang menunjukkan bahwa industri manufaktur Tanah Air sangat bergantung pada kekuatan pasar dalam negeri. Namun, gelombang tantangan global, khususnya perang dagang yang kian memanas, mengancam stabilitas sektor ini dan berpotensi memicu krisis tenaga kerja berskala besar.
Perang Dagang Global: Pemicu Utama Krisis
Salah satu faktor terbesar yang mengguncang industri manufaktur Indonesia adalah perang dagang global, terutama antara Amerika Serikat (AS) dan China. Ketegangan ini diperparah oleh kebijakan tarif tinggi yang diterapkan AS di era pemerintahan Donald Trump. Produk-produk manufaktur asing, yang sebelumnya menargetkan pasar AS, kini kesulitan menembus pasar tersebut. Akibatnya, Indonesia—dengan populasi besar dan daya beli yang terus tumbuh—menjadi sasaran empuk untuk "pembuangan" barang-barang murah ini.
Menurut Kemenprin, jika arus impor ini tidak segera dibendung, industri lokal akan semakin tertekan. Sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan elektronik, yang menyerap jutaan tenaga kerja, menjadi yang paling rentan. Dampaknya? Sebanyak 19 juta pekerja—hampir sepersepuluh dari total angkatan kerja nasional—berisiko menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Kebijakan Pemerintah: SNI, TKDN, dan Pembatasan Impor
Untuk menangkal ancaman ini, pemerintah telah menggulirkan sejumlah kebijakan strategis. Pertama, semua produk yang beredar di pasar domestik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), sebuah langkah untuk memastikan kualitas barang sekaligus melindungi konsumen. Kedua, pemerintah mewajibkan adanya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang cukup tinggi, sehingga produk impor harus mengandung komponen lokal dalam jumlah tertentu untuk bisa bersaing di pasar Indonesia.
Selain itu, ada pula kebijakan non-tariff measures (NTM), seperti kuota impor, persyaratan sertifikasi ketat, dan regulasi teknis lainnya. Tujuannya jelas: membatasi masuknya produk impor murah yang dapat merusak daya saing industri dalam negeri. Namun, apakah langkah-langkah ini cukup untuk menahan gelombang impor yang semakin deras?
Ancaman Baru: Efek Tarif Trump
Meski kebijakan domestik telah diterapkan, ancaman baru muncul dari kebijakan tarif AS yang dipimpin Trump. Produk-produk manufaktur asing, terutama dari China, yang terhambat masuk ke AS kini beralih mencari pasar alternatif. Indonesia, dengan pasar domestik yang luas, menjadi target utama. Banjir produk impor murah ini tidak hanya mengancam eksistensi produsen lokal, tetapi juga menekan marjin keuntungan perusahaan. Jika ini berlanjut, gelombang PHK massal hampir tidak terhindarkan.
Seorang ekonom senior dari Universitas Indonesia memperingatkan, “Tanpa intervensi yang lebih agresif, industri manufaktur kita bisa runtuh. SNI dan TKDN saja tidak cukup. Kita butuh proteksi yang lebih kuat dan strategi jangka panjang untuk bertahan di tengah gejolak global ini.”
Dampak Domino: Krisis Sosial dan Ekonomi
Jika skenario terburuk terjadi dan 19 juta pekerja kehilangan pekerjaan, dampaknya akan meluas jauh melampaui sektor industri. Krisis sosial menjadi ancaman nyata, dengan potensi lonjakan angka kemiskinan, tingkat kriminalitas, hingga gejolak politik. Secara ekonomi, PHK massal akan memangkas daya beli masyarakat, yang pada akhirnya melemahkan permintaan domestik—tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kita tidak hanya bicara soal kehilangan pekerjaan, tapi juga ancaman terhadap stabilitas nasional. Ini adalah pertaruhan besar yang harus kita menangkan,” ungkap seorang pejabat tinggi Kemenprin dalam konferensi pers baru-baru ini.
Solusi di Depan Mata
Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah tengah mempertimbangkan beberapa langkah tambahan, di antaranya:
Subsidi untuk Industri Lokal: Memberikan insentif pajak dan bantuan modal kepada perusahaan yang menggunakan komponen lokal dalam produksinya.
Kampanye “Cinta Produk Indonesia”: Mengedukasi masyarakat agar lebih memilih produk dalam negeri demi mendukung perekonomian lokal.
Diplomasi Ekonomi: Melakukan negosiasi dengan negara-negara pengekspor besar untuk mengatur volume dan jenis barang yang masuk ke Indonesia.
Namun, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Sebagian kalangan menilai bahwa proteksi berlebihan justru bisa melemahkan daya saing industri lokal di panggung global, sementara yang lain berargumen bahwa tanpa perlindungan ekstra, industri dalam negeri tidak akan punya kesempatan untuk tumbuh.
Masa Depan Industri Manufaktur Indonesia
Ancaman banjir produk impor murah menjadi ujian terberat bagi industri manufaktur Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Dengan 19 juta pekerja yang terancam PHK, tekanan ada di pundak pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat. Kebijakan seperti SNI, TKDN, dan NTM adalah fondasi penting, tetapi tantangan dari perang tarif Trump menuntut strategi yang lebih adaptif dan inovatif. Kini, pertanyaannya adalah: mampukah Indonesia menavigasi badai global ini demi menyelamatkan industri dan jutaan mata pencaharian?