AI Chip Manufacturing Hambat Kemajuan Iklim di Asia Timur

4/24/20253 min baca

black and white circuit board
black and white circuit board

Surakarta – Permintaan chip Artificial Intelligence (AI) yang melonjak drastis dalam beberapa tahun terakhir telah membawa dampak ganda bagi Asia Timur. Di satu sisi, lonjakan ini mencerminkan kemajuan teknologi yang pesat dan peluang ekonomi yang signifikan. Namun, di sisi lain, industri manufaktur chip AI kini menjadi ancaman serius terhadap upaya mitigasi perubahan iklim di kawasan tersebut. Menurut laporan terbaru dari Greenpeace East Asia, konsumsi listrik untuk produksi chip di wilayah ini melonjak lebih dari 350% antara tahun 2023 dan 2024, sebuah angka yang mengejutkan dan mengkhawatirkan.

Negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, yang dikenal sebagai pusat produksi chip global, kini berada di bawah tekanan besar. Ketergantungan mereka pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil untuk mendukung industri ini telah memperburuk emisi karbon, mengancam komitmen kawasan untuk mencapai netralitas karbon pada pertengahan abad ini.

Lonjakan Konsumsi Listrik dan Emisi Karbon

Data dari Greenpeace menunjukkan bahwa emisi karbon dari produksi chip AI di Asia Timur meningkat empat kali lipat dalam satu tahun, mencapai 453.600 ton CO₂ ekuivalen pada 2024. Peningkatan ini tidak hanya disebabkan oleh ekspansi produksi, tetapi juga oleh fakta bahwa sebagian besar listrik di kawasan ini masih berasal dari sumber energi kotor. Taiwan, misalnya, menghasilkan lebih dari 80% listriknya dari batu bara dan gas alam. Korea Selatan dan Jepang juga belum sepenuhnya beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil, meskipun ada upaya untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

Proyeksi ke depan bahkan lebih mengkhawatirkan. Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi signifikan, konsumsi listrik global untuk manufaktur chip AI diperkirakan akan melonjak 170 kali lipat pada tahun 2030. Angka ini akan melampaui konsumsi listrik tahunan negara-negara seperti Irlandia, menjadikannya salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di sektor teknologi. Situasi ini menjadi peringatan keras bagi dunia, terutama di tengah upaya global untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.

Ekspansi Produksi dan Dampak Lingkungan

Permintaan chip AI yang terus meningkat, didorong oleh kebutuhan akan pusat data, kendaraan otonom, dan perangkat pintar, telah mendorong perusahaan besar untuk memperluas kapasitas produksi mereka. Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), raksasa industri chip global, berencana membangun tiga pabrik baru di Taiwan dan Jepang pada tahun 2025 dengan investasi sebesar US$44 miliar. Di sisi lain, Samsung Electronics dari Korea Selatan juga tidak ketinggalan, mengumumkan rencana investasi US$33 miliar untuk fasilitas manufaktur chip canggih.

Namun, ekspansi ini membawa konsekuensi lingkungan yang serius. Pembangunan dan operasional pabrik chip membutuhkan pasokan listrik yang sangat besar. Di Asia Timur, kebutuhan energi ini sebagian besar dipenuhi dengan pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas alam. Akibatnya, beberapa negara di kawasan ini terpaksa membuka lebih banyak pembangkit listrik berbahan bakar fosil untuk mengejar permintaan energi yang melonjak, sebuah langkah yang jelas-jelas bertentangan dengan target iklim mereka.

Langkah Menuju Energi Terbarukan

Meski tantangannya besar, ada upaya yang menunjukkan harapan. TSMC, misalnya, telah berkomitmen untuk mencapai 100% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2050. Perusahaan ini juga telah menandatangani perjanjian pembelian listrik (PPA) untuk proyek tenaga surya dan angin di Taiwan. Namun, kecepatan transisi ini masih jauh dari ideal. Greenpeace melaporkan bahwa pada tahun 2024, kurang dari 10% listrik yang digunakan industri chip di Asia Timur berasal dari sumber terbarukan, sebuah angka yang menunjukkan betapa lambatnya perubahan ini terjadi dibandingkan dengan laju pertumbuhan industri.

Perusahaan teknologi besar seperti Nvidia, Microsoft, Meta, dan Google, yang merupakan konsumen utama chip AI, juga mulai merasakan tekanan untuk bertindak. Greenpeace mendesak mereka untuk memainkan peran aktif dengan mendorong pemasok mereka beralih ke energi hijau dan menargetkan rantai pasok yang 100% terbarukan pada tahun 2030. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi jejak karbon mereka, tetapi juga dapat menjadi katalis bagi perubahan yang lebih luas di industri teknologi.

Solusi untuk Masa Depan Berkelanjutan

Mengatasi krisis ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang kuat. Pemerintah di Asia Timur perlu mempercepat investasi dalam infrastruktur energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan geothermal, serta memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang beralih ke energi hijau. Deregulasi sektor energi juga dapat membuka jalan bagi inovasi dan adopsi teknologi bersih yang lebih cepat.

Di tingkat perusahaan, produsen chip dan raksasa teknologi harus menetapkan target dekarbonisasi yang lebih ambisius. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil termasuk penggunaan material daur ulang dalam produksi chip, desain chip yang lebih efisien energi, serta inovasi dalam teknologi pendinginan dan manajemen energi di fasilitas produksi. Langkah-langkah ini dapat secara signifikan mengurangi konsumsi listrik dan emisi karbon yang dihasilkan.

Kesimpulan: Tantangan dan Peluang

Industri chip AI di Asia Timur kini berada di persimpangan kritis. Lonjakan permintaan membuka peluang ekonomi yang luar biasa, namun ketergantungan pada bahan bakar fosil mengancam untuk menghapus kemajuan iklim yang telah dicapai dengan susah payah. Dengan tindakan cepat, kolaborasi yang erat antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, serta komitmen kuat terhadap energi bersih, Asia Timur memiliki kesempatan untuk tidak hanya tetap menjadi pemimpin dalam inovasi teknologi, tetapi juga menjadi pelopor dalam pembangunan masa depan yang berkelanjutan.