AI dan Transhumanisme: Janji Hidup Abadi yang Dipertanyakan Ahli

12/18/20252 min baca

diagram
diagram

Surakarta, 18 Desember 2025 - Kemajuan pesat dalam riset umur panjang manusia telah memicu perdebatan sengit di kalangan ilmuwan teknologi, pengusaha, dan filsuf mengenai transhumanisme—gerakan yang bertujuan meningkatkan kemampuan manusia melalui teknologi untuk mengatasi kematian. Isu ini semakin hangat setelah pengusaha bioteknologi Bryan Johnson dan miliarder teknologi Peter Thiel secara terbuka mendukung ide bahwa inovasi seperti AI dan biotek bisa menghentikan proses penuaan serta penyakit kronis. Namun, para peneliti AI dan filsuf memperingatkan bahwa upaya mencapai keabadian digital ini berpotensi menimbulkan dilema etika serius, termasuk risiko perbudakan AI dan hilangnya esensi kemanusiaan. Sementara itu, perdebatan ini terus berkembang seiring teknologi yang semakin canggih, meski masih dikelilingi kontroversi tentang implikasi moral dan sosial bagi masa depan umat manusia.

Bryan Johnson, pendiri proyek Blueprint, telah menjadi ikon transhumanisme dengan rutinitas anti-penuaan ekstremnya, seperti transfusi darah muda dan diet ketat, yang ia klaim bisa membalikkan usia biologisnya hingga 5 tahun lebih muda. Johnson percaya bahwa teknologi seperti AI bisa mengoptimalkan kesehatan manusia hingga mencapai umur panjang yang tak terbayangkan, bahkan keabadian fisik melalui regenerasi sel. Sementara Peter Thiel, salah satu pendiri PayPal, telah menyumbang US$7 juta ke SENS Research Foundation untuk riset anti-penuaan, melihat transhumanisme sebagai cara untuk "mengalahkan kematian" melalui bioteknologi dan AI. Thiel, yang dikenal dengan visinya tentang masa depan di mana manusia bisa hidup selamanya, berargumen bahwa kematian adalah masalah teknis yang bisa diselesaikan, bukan takdir alami.

Di sisi lain, peneliti AI Adam Goldstein dari MIT menekankan bahwa fokus seharusnya bukan pada upaya mencegah kematian, melainkan pada desain teknologi yang etis dan bermanfaat bagi masyarakat saat ini. Goldstein memperingatkan bahwa obsesi dengan keabadian bisa mengalihkan sumber daya dari isu mendesak seperti akses kesehatan universal, dan menyarankan agar manusia memprioritaskan pilihan desain AI yang mendukung kehidupan berkualitas daripada panjang umur semata. Sementara itu, filsuf Susan Schneider, penulis "Artificial You: AI and the Future of Your Mind", awalnya mengidentifikasi diri sebagai transhumanis tapi kini menolaknya karena kekhawatiran etis. Schneider berargumen bahwa ide mengunggah otak ke komputer untuk keabadian digital bisa setara dengan perbudakan jika AI menjadi sadar, dan bahkan jika teknologi ada, itu mungkin menghilangkan esensi kemanusiaan seperti emosi dan kesadaran alami. Dalam debat baru-baru ini, transhumanisme bahkan dicap sebagai "death cult" oleh para pemikir yang khawatir teknologi justru menghapus identitas manusia alih-alih menyelamatkannya.

Debat ini semakin relevan seiring kemajuan teknologi seperti CRISPR untuk editing gen dan AI untuk simulasi otak, yang diproyeksikan bisa memperpanjang umur manusia hingga 120 tahun atau lebih dalam dekade mendatang. Namun, kritik etis dari Schneider dan Goldstein menyoroti risiko: keabadian bisa memperlebar kesenjangan sosial, di mana hanya elite yang mampu mengakses teknologi ini, sementara mayoritas tetap rentan. Selain itu, isu seperti privasi data otak dan potensi AI sadar sebagai "budak" manusia menjadi perhatian utama. Di Indonesia, perdebatan serupa mulai muncul dengan kemajuan AI nasional, di mana pemerintah mendorong etika AI melalui regulasi untuk menghindari dampak negatif seperti hilangnya pekerjaan atau ketidakadilan sosial. Meski demikian, riset umur panjang terus berkembang, dengan harapan teknologi bisa membawa manfaat tanpa mengorbankan nilai kemanusiaan.