AS Setuju Bebaskan Tarif untuk Minyak Sawit, Kakao, dan Karet Indonesia dari 19%
Jakarta, 26 Agustus 2025 – Amerika Serikat (AS) telah setuju secara prinsip untuk membebaskan ekspor minyak sawit, kakao, dan karet Indonesia dari tarif impor sebesar 19% yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump. Kesepakatan ini diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto setelah serangkaian pembicaraan dengan pihak AS. Eksepsi tarif ini akan berlaku setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan akhir, meskipun belum ada timeline yang pasti karena AS sedang sibuk menangani negosiasi tarif dengan negara lain.
Menurut Airlangga, prinsip eksepsi telah disetujui untuk produk-produk yang tidak diproduksi di AS, seperti minyak sawit, kakao, dan karet. "Kami menunggu respons mereka, tetapi selama pertemuan, pada dasarnya prinsip eksepsi telah disetujui untuk produk yang tidak diproduksi di AS, seperti minyak sawit, kakao, dan karet... itu akan menjadi nol atau mendekati nol," ujar Airlangga, seperti dilansir dari Reuters. Langkah ini menjadi angin segar bagi Indonesia, sebagai eksportir minyak sawit terbesar dunia dengan pangsa pasar global mencapai 59% pada 2024, menurut data USDA Foreign Agricultural Service.
Kesepakatan ini juga mencakup rencana investasi bersama di bidang penyimpanan bahan bakar, yang melibatkan sovereign wealth fund Indonesia, Danantara, dan perusahaan energi negara Pertamina. Airlangga menambahkan bahwa persepsi investor terhadap ekonomi Indonesia tetap positif, dengan proyeksi pertumbuhan mencapai 5,4% pada 2026, naik dari estimasi 5% tahun ini. "Mereka membawa persepsi optimis dari pasar global karena Indonesia adalah salah satu negara yang memberikan kepastian global," katanya.
Latar Belakang dan Dampak Tarif Trump
Tarif 19% yang diberlakukan Trump pada awal Agustus 2025 adalah bagian dari kebijakan "America First" yang bertujuan mengurangi defisit perdagangan AS. Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang utama AS dengan nilai ekspor mencapai US$28,4 miliar pada 2024 (U.S. Census Bureau), sempat khawatir akan dampaknya terhadap sektor komoditas. Minyak sawit, kakao, dan karet adalah produk unggulan Indonesia yang bernilai miliaran dolar dalam ekspor ke AS setiap tahunnya.
Menurut The Jakarta Post, kesepakatan ini adalah hasil dari persepsi optimis AS terhadap Indonesia sebagai negara yang memberikan kepastian global. Tarif ini sebelumnya memicu kekhawatiran inflasi di AS, karena minyak sawit dan karet digunakan dalam berbagai industri, termasuk makanan, kosmetik, dan manufaktur ban. Penurunan tarif menjadi nol untuk produk ini diharapkan dapat menstabilkan harga dan pasokan di pasar AS.
Dari sisi Indonesia, kesepakatan ini akan menghemat miliaran dolar dalam biaya ekspor. Hellenic Shipping News melaporkan bahwa pembebasan tarif ini bisa meningkatkan volume ekspor minyak sawit Indonesia ke AS hingga 15% pada 2026, mengingat AS adalah pasar terbesar ketiga untuk minyak sawit Indonesia setelah India dan China.
Pendapat Para Ahli
Para ahli ekonomi memberikan pandangan beragam tentang kesepakatan ini. Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyatakan dalam wawancara dengan Kompas.com bahwa pembebasan tarif ini adalah kemenangan diplomasi Indonesia. "Ini menunjukkan bahwa kita bisa menegosiasikan dengan baik. Dampaknya positif untuk pertumbuhan ekspor kita, tapi kita harus tetap waspada terhadap fluktuasi harga komoditas global," ujarnya.
Sementara itu, analis perdagangan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), William Reinsch, mengatakan kepada Reuters bahwa kesepakatan ini menguntungkan AS karena membuka peluang investasi di Indonesia. "Dengan investasi bersama di penyimpanan bahan bakar, AS bisa memperkuat rantai pasok energi di Asia Tenggara," katanya. Namun, ia juga memperingatkan risiko ketergantungan pada komoditas tunggal seperti minyak sawit, yang rentan terhadap isu lingkungan.
Dari perspektif global, Trading Economics memprediksi bahwa pembebasan tarif ini dapat meningkatkan perdagangan bilateral AS-Indonesia hingga US$50 miliar per tahun, dengan fokus pada komoditas non-produsen AS. "Ini adalah langkah cerdas untuk menghindari perang dagang yang lebih luas," tulis analis mereka.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Meskipun kesepakatan ini positif, Indonesia masih menghadapi tantangan seperti regulasi lingkungan UE terkait minyak sawit yang berkelanjutan. Menurut Detik.com, Indonesia perlu memastikan bahwa ekspornya memenuhi standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk menghindari hambatan non-tarif di masa depan.
Secara keseluruhan, kesepakatan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra dagang strategis AS, sekaligus membuka peluang baru untuk investasi bersama di sektor energi. Dengan implementasi yang tepat, ini bisa menjadi model untuk negosiasi serupa dengan negara lain.