AS Tekankan Ambisi untuk Kalahkan China di Industri AI dan Komputasi Kuantum


Jakarta, 7 Mei 2025 – Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Scott Bessent, menegaskan bahwa negaranya harus memenangkan perlombaan pengembangan kecerdasan buatan (AI) dan komputasi kuantum melawan China. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi bergengsi Milken Institute Global, di mana Bessent menyoroti urgensi AS untuk mempertahankan dominasinya di dua bidang teknologi strategis ini. Dengan persaingan teknologi antara AS dan China yang semakin memanas, ambisi ini menjadi cerminan tekad AS untuk menjaga keunggulan globalnya.
Pernyataan Tegas Bessent
Dalam pidatonya, Bessent dengan tegas menyatakan, “Kita harus menang dalam AI dan quantum. Jika Amerika Serikat tidak memimpin, jika kita tidak menang, maka segalanya tidak ada artinya. Jika kita kehilangan keunggulan di sana, semuanya tidak berarti. China sedang mengejar, dan itu hal yang wajar, namun saya yakin kita akan mempertahankan kepemimpinan kita di bidang itu.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan pengakuan akan pentingnya AI dan komputasi kuantum sebagai fondasi inovasi dan keamanan nasional di masa depan.
AI telah menjadi tulang punggung berbagai industri, mulai dari kesehatan hingga pertahanan, sementara komputasi kuantum menjanjikan terobosan dalam pemrosesan data yang jauh melampaui kemampuan komputer konvensional. Bagi AS, kehilangan posisi terdepan di bidang ini dapat berarti penurunan daya saing ekonomi dan ancaman terhadap keamanan nasional.
Persaingan Teknologi AS dan China
Persaingan antara AS dan China di bidang teknologi bukanlah hal baru. Menurut laporan dari Stanford University’s Institute for Human-Centered AI (HAI) tahun 2024, AS masih memimpin dalam pengembangan AI secara keseluruhan, terutama dalam hal investasi swasta dan jumlah publikasi ilmiah. Namun, China telah menunjukkan kemajuan pesat, terutama dalam penerapan AI skala besar dan jumlah paten teknologi yang diajukan. China juga dilaporkan melampaui AS dalam beberapa metrik, seperti jumlah peneliti AI dan implementasi teknologi di sektor publik.
Di bidang komputasi kuantum, China juga tidak tinggal diam. Pada 2021, tim peneliti dari University of Science and Technology of China mengklaim telah mencapai quantum supremacy dengan komputer kuantum mereka, Jiuzhang, yang mampu menyelesaikan perhitungan dalam hitungan menit—tugas yang membutuhkan superkomputer konvensional ribuan tahun. Sementara itu, perusahaan AS seperti IBM dan Google terus mendorong batas-batas komputasi kuantum, tetapi keunggulan China dalam pendanaan pemerintah menjadi tantangan serius.
Pandangan Para Ahli
Para pemimpin industri teknologi AS juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Presiden Microsoft, Brad Smith, dalam wawancara baru-baru ini dengan CNBC, memperingatkan bahwa AS harus meningkatkan investasi dalam penelitian komputasi kuantum. “Jika kita tidak bertindak sekarang, China bisa saja mendahului kita dalam dekade mendatang, dan itu akan berdampak besar pada ekonomi dan keamanan kita,” ujarnya. Smith menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta untuk mempercepat inovasi.
Sementara itu, laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyoroti bahwa China telah mengalokasikan miliaran dolar untuk proyek-proyek AI dan kuantum melalui rencana strategis seperti Made in China 2025. Ini kontras dengan pendekatan AS yang lebih bergantung pada inisiatif swasta, meskipun pemerintah AS baru-baru ini meningkatkan anggaran untuk penelitian teknologi melalui CHIPS and Science Act.
Implikasi Strategis
AI dan komputasi kuantum bukan sekadar alat teknologi, tetapi juga senjata strategis. Teknologi ini dapat digunakan untuk memecahkan kode enkripsi, mengembangkan senjata berbasis AI, atau bahkan menciptakan model ekonomi yang lebih efisien. Bessent memandang China sebagai pesaing utama yang semakin mendekati, bahkan berpotensi melampaui AS jika langkah-langkah signifikan tidak diambil segera.
AS sendiri telah mengambil tindakan untuk menghambat kemajuan China, termasuk pembatasan ekspor teknologi canggih. Pada Oktober 2022, Departemen Perdagangan AS memberlakukan kontrol ekspor yang ketat terhadap perusahaan seperti Nvidia dan AMD, membatasi akses China ke chip semikonduktor mutakhir yang vital untuk AI dan komputasi kuantum. Langkah ini menuai kritik dari Beijing, yang menuduh AS melakukan “hegemoni teknologi.”
Optimisme dan Tantangan
Meski menghadapi persaingan ketat, Bessent tetap optimis. Ia percaya bahwa dengan strategi yang tepat—termasuk peningkatan investasi, kebijakan inovasi, dan kolaborasi internasional—AS dapat mempertahankan posisinya sebagai pemimpin global. “Kita punya talenta, infrastruktur, dan semangat inovasi yang tak tertandingi,” katanya.
Namun, tantangan tetap ada. Menurut National Security Commission on Artificial Intelligence (NSCAI), AS perlu mengatasi kekurangan tenaga ahli teknologi dan mempercepat adopsi AI di sektor publik untuk bersaing dengan China. Kolaborasi dengan sekutu, seperti Jepang dan Uni Eropa, juga dianggap kunci untuk menandingi skala investasi China.
Masa Depan yang Penuh Ketidakpastian
Perlombaan antara AS dan China di bidang AI dan komputasi kuantum akan menentukan arah dunia dalam beberapa dekade mendatang. Bagi AS, kemenangan dalam persaingan ini bukan hanya soal prestise, tetapi juga kelangsungan dominasinya di panggung global. Sementara itu, China terus menunjukkan ambisi untuk menjadi kekuatan teknologi nomor satu, didukung oleh visi jangka panjang dan sumber daya yang melimpah.
Dengan inovasi yang terus berkembang di kedua belah pihak, dunia kini menyaksikan salah satu persaingan teknologi terbesar dalam sejarah modern. Pertanyaannya bukan hanya siapa yang akan menang, tetapi bagaimana kemenangan itu akan membentuk masa depan ekonomi, keamanan, dan tatanan global.
Image Source: Bloomberg