Bank Dunia: 60,3% Penduduk Indonesia Tergolong Miskin, BPS Beri Penjelasan

5/3/20253 min baca

selective photography of man pedaling wagon
selective photography of man pedaling wagon

Jakarta, 3 Mei 2025 – Bank Dunia (World Bank) baru-baru ini merilis laporan yang mengungkapkan bahwa sebanyak 171,91 juta jiwa atau 60,3% penduduk Indonesia tergolong miskin. Angka ini dihitung berdasarkan ambang batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas, yaitu pengeluaran sebesar US$6,85 atau setara Rp114.395 per kapita per hari (dengan asumsi kurs Rp16.700 per dolar AS). Klasifikasi ini diterapkan karena Indonesia telah mencapai status negara berpendapatan menengah ke atas pada tahun 2023, dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.580 atau hampir Rp80 juta per tahun. Meskipun demikian, laporan tersebut menunjukkan tren penurunan kemiskinan, dari 61,8% pada tahun 2023, dan diproyeksikan turun menjadi 58,7% pada 2025, 57,2% pada 2026, dan 55,5% pada 2027. Penurunan ini didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, meskipun pertumbuhannya moderat, yang memberikan sinyal positif bagi sektor-sektor berbasis permintaan domestik seperti barang konsumsi, ritel, dan keuangan.

Perbedaan Metodologi Bank Dunia dan BPS

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat angka kemiskinan yang jauh lebih rendah, yaitu 8,57% atau sekitar 24,06 juta orang dari total populasi 285,1 juta jiwa pada tahun yang sama. Perbedaan signifikan ini disebabkan oleh perbedaan metodologi dalam menentukan garis kemiskinan. BPS menggunakan ambang batas nasional sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, yang setara dengan sekitar Rp19.841 per hari—jauh di bawah standar Bank Dunia. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa garis kemiskinan BPS dirancang untuk mencerminkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, seperti makanan, perumahan, dan pendidikan, yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi lokal. “Kami menghitung berdasarkan pengeluaran riil masyarakat, sedangkan Bank Dunia menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) untuk menyesuaikan daya beli di berbagai negara,” ujarnya.

Bank Dunia, dalam laporannya, menggunakan standar PPP untuk memungkinkan perbandingan internasional yang konsisten. Standar US$6,85 per hari ini mencerminkan kebutuhan hidup minimum di negara-negara berpendapatan menengah ke atas, yang lebih tinggi dibandingkan standar kemiskinan ekstrem (US$2,15 per hari) yang biasanya diterapkan pada negara berpendapatan rendah. Dengan pendekatan ini, Bank Dunia menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah "naik kelas" secara ekonomi, sebagian besar penduduknya masih belum mencapai standar hidup yang sesuai dengan klasifikasi tersebut.

Implikasi dan Reaksi terhadap Laporan

Perbedaan metodologi ini menimbulkan perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, menyoroti bahwa definisi kemiskinan sangat memengaruhi persepsi dan kebijakan. “Jika kita menggeser definisi, jumlah orang miskin bisa berubah drastis. BPS mencatat 8,57%, tetapi dengan standar Bank Dunia, angkanya melonjak menjadi 60,3%,” katanya. Ia menambahkan bahwa data ini bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengevaluasi efektivitas program pengentasan kemiskinan.

Laporan Bank Dunia ini juga memicu kekhawatiran di kalangan ekonom mengenai dampaknya terhadap iklim investasi. Ekonom Universitas Airlangga, Ni Made Sukartini, mengingatkan bahwa data kemiskinan yang tinggi dapat memengaruhi persepsi global terhadap perekonomian Indonesia. “Investor mungkin meragukan daya beli masyarakat, yang bisa berdampak pada daya tarik investasi,” ujarnya. Namun, ia juga menekankan bahwa daya tarik investasi tidak hanya ditentukan oleh daya beli, melainkan juga oleh faktor lain seperti kepastian hukum, infrastruktur, dan tata kelola yang baik.

Sebagai respons, pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pihaknya tengah meninjau ulang standar penghitungan kemiskinan yang digunakan BPS. “Kami ingin memastikan bahwa data yang digunakan relevan dengan kondisi saat ini dan mendukung penyusunan kebijakan yang tepat,” katanya dalam sebuah konferensi pers. Pemerintah juga berencana memperkuat program bantuan sosial dan investasi di sektor pendidikan serta kesehatan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan.

Proyeksi dan Harapan ke Depan

Meskipun terdapat perbedaan data, Bank Dunia tetap optimis bahwa kemiskinan di Indonesia akan terus menurun seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Dalam laporannya, Bank Dunia memproyeksikan bahwa dengan dukungan reformasi struktural—seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja dan perluasan akses ke layanan dasar—Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan mengurangi kemiskinan secara signifikan. Faktor pendukung lainnya termasuk stabilitas politik dan kebijakan fiskal yang prudent, yang diyakini akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Di tengah perbedaan data ini, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memahami konteks dan tujuan dari masing-masing metodologi. Data BPS lebih mencerminkan kondisi lokal dan kebutuhan dasar, sementara Bank Dunia memberikan gambaran perbandingan global. Keduanya memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Indonesia.