Bank Dunia Revisi Garis Kemiskinan, Jumlah Penduduk Miskin RI Tembus 194 Juta

6/12/20253 min baca

3 women sitting on ground
3 women sitting on ground

Dalam laporan terbarunya, June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP), Bank Dunia mengungkapkan bahwa sebanyak 68,2% atau setara dengan 194 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin pada tahun 2024. Angka ini melonjak drastis dibandingkan dengan data sebelumnya, yang disebabkan oleh revisi perhitungan garis kemiskinan ke Purchasing Power Parity (PPP) 2021 dari PPP 2017. Revisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kondisi ekonomi Indonesia, yang sejak 2023 telah masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah atas dengan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita sebesar US$4.580.

Revisi Garis Kemiskinan: Dari PPP 2017 ke PPP 2021

Bank Dunia kini menggunakan PPP 2021 untuk menghitung garis kemiskinan global, menggantikan PPP 2017 yang digunakan sebelumnya. Perubahan ini berdampak pada standar garis kemiskinan internasional, yang naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari untuk mengukur kemiskinan ekstrem. Untuk negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan pada US$8,30 per orang per hari, naik dari US$6,85 pada perhitungan sebelumnya. PPP sendiri adalah metode yang menyesuaikan daya beli antarnegara, sehingga nilai dolar yang digunakan bukan berdasarkan kurs pasar, melainkan paritas daya beli. Di Indonesia, US$1 PPP 2024 setara dengan Rp5.993,03.

Berdasarkan perhitungan baru ini, Bank Dunia mencatat bahwa 68,2% dari total populasi Indonesia—yang menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 285,1 juta jiwa—hidup di bawah garis kemiskinan. Ini berarti sekitar 194,4 juta orang Indonesia tergolong miskin, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan data kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS.

Perbedaan Metodologi: Bank Dunia vs. BPS

Perbedaan signifikan antara angka kemiskinan Bank Dunia dan BPS disebabkan oleh metodologi yang berbeda. BPS menggunakan garis kemiskinan nasional yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan sosial Indonesia. Pada September 2024, BPS mencatat garis kemiskinan nasional sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, dengan tingkat kemiskinan sebesar 8,57% atau 24,06 juta jiwa. Metodologi BPS berbasis pada pengeluaran minimum untuk kebutuhan dasar, yang dihitung dari data Susenas yang mencakup 345.000 rumah tangga pada Maret 2024 dan 76.310 rumah tangga pada September 2024.

Sementara itu, Bank Dunia menggunakan standar internasional untuk memudahkan perbandingan antarnegara. Garis kemiskinan US$8,30 PPP yang diterapkan untuk Indonesia didasarkan pada median garis kemiskinan dari 37 negara berpenghasilan menengah atas, bukan pada kebutuhan dasar spesifik penduduk Indonesia. BPS menekankan bahwa standar Bank Dunia tidak sepenuhnya relevan untuk Indonesia, yang baru saja naik ke kategori negara berpenghasilan menengah atas dan masih berada di batas bawah kisaran GNI per capita US$4.516–US$14.005. Oleh karena itu, penerapan standar global ini menghasilkan angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi.

Implikasi Revisi Terhadap Indonesia

Revisi ini menimbulkan tantangan serius bagi Indonesia, yang sejak 2023 masuk kategori negara berpenghasilan menengah atas. Meskipun secara resmi masuk kategori ini, banyak penduduk Indonesia yang masih rentan terhadap kemiskinan. Data BPS menunjukkan bahwa di atas kelompok miskin, terdapat 24,42% penduduk yang tergolong rentan miskin (dengan pendapatan 1,0–1,5 kali garis kemiskinan), 49,29% sebagai kelompok menuju kelas menengah, dan hanya 17,25% yang masuk kelas menengah. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia belum mencapai stabilitas ekonomi yang memadai.

Selain itu, laporan Bank Dunia Macro Poverty Outlook edisi April 2025 juga memperingatkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan kemiskinan yang signifikan, dengan lebih dari 60,3% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan untuk negara berpenghasilan menengah atas. Revisi ke PPP 2021 memperburuk gambaran ini, dengan angka kemiskinan melonjak ke 68,2%.

Pandangan Pakar dan Pemerintah

Para pakar ekonomi memperingatkan bahwa meskipun Indonesia telah mencapai status negara berpenghasilan menengah atas, ketimpangan dan rendahnya produktivitas tenaga kerja masih menjadi hambatan utama. Laporan Bank Dunia menyerukan reformasi kebijakan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas lapangan kerja, memperluas akses pendidikan dan kesehatan, serta memperkuat sistem perlindungan sosial.

Sementara itu, pemerintah Indonesia, melalui BPS, menegaskan bahwa standar Bank Dunia tidak dapat sepenuhnya diadopsi karena tidak mencerminkan realitas lokal. BPS merekomendasikan agar Indonesia tetap menggunakan garis kemiskinan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan dasar penduduk. Meski demikian, revisi Bank Dunia ini menjadi pengingat bahwa kemajuan ekonomi Indonesia belum merata dan banyak penduduk yang masih rentan terhadap guncangan ekonomi.

Dampak Terhadap Kebijakan Pemerintah

Revisi ini kemungkinan akan mempengaruhi persepsi global terhadap kemajuan ekonomi Indonesia dan dapat memicu tekanan untuk mereformasi program pengentasan kemiskinan. Pemerintah Indonesia mungkin perlu menyesuaikan strategi untuk mengatasi ketimpangan yang lebih luas, terutama mengingat bahwa sebagian besar penduduk masih berada di ambang kemiskinan. Selain itu, angka ini dapat mempengaruhi alokasi bantuan internasional dan investasi asing, yang sering kali mempertimbangkan indikator kemiskinan dalam pengambilan keputusan.

Di sisi lain, beberapa ekonom berpendapat bahwa revisi ini seharusnya tidak dijadikan acuan utama untuk kebijakan domestik. Mereka menekankan pentingnya fokus pada data nasional yang lebih relevan untuk merancang program yang tepat sasaran. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa angka kemiskinan yang tinggi menurut standar internasional dapat menjadi cambuk bagi pemerintah untuk mempercepat reformasi struktural.

Kesimpulan

Revisi garis kemiskinan oleh Bank Dunia ke PPP 2021 telah menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan, meskipun telah mencapai status negara berpenghasilan menengah atas. Dengan 194,4 juta penduduk tergolong miskin menurut standar internasional, Indonesia perlu memperkuat upaya untuk menciptakan peluang ekonomi yang lebih inklusif dan merata. Sementara itu, perbedaan metodologi antara Bank Dunia dan BPS menegaskan pentingnya memahami konteks lokal dalam mengukur kemiskinan. Kedua data tersebut, meskipun berbeda, sama-sama menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketimpangan masih menjadi isu krusial yang harus segera diatasi.