BI Proyeksikan Perlambatan Ekonomi Global ke 3% pada 2026, Indonesia Tetap Stabil

12/26/20252 min baca

bank indonesia
bank indonesia

Surakarta, 26 Desember 2025 - Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 3,0% pada 2026, terutama akibat kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS) dan kerentanan rantai pasok internasional yang semakin rentan di tengah ketegangan geopolitik. Proyeksi ini disampaikan dalam laporan terbaru BI pada akhir 2025, yang menyoroti risiko dari kebijakan proteksionis AS di era pemerintahan Donald Trump, seperti tarif impor hingga 20% pada barang China dan mitra dagang lainnya, yang bisa mengganggu alur perdagangan global. Meski demikian, untuk Indonesia sendiri, BI optimistis bahwa konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2025 akan mengalami perbaikan signifikan, didorong oleh belanja sosial pemerintah seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi energi yang ditingkatkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Hal ini diharapkan menjadi penyangga utama bagi perekonomian domestik di tengah tekanan eksternal.

Proyeksi BI ini selaras dengan pandangan lembaga internasional seperti World Bank, yang memperkirakan pertumbuhan Indonesia tetap stabil di level 5% pada 2026, meski global melambat—naik dari estimasi awal 4,7% untuk 2025 akibat faktor domestik seperti konsumsi yang membaik. S&P Global Ratings juga merevisi naik proyeksi GDP Indonesia untuk 2025 dan 2026 menjadi 5,0%, didukung oleh konsumsi rumah tangga yang kuat di Q4 2025 berkat stimulus pemerintah. BI sendiri sempat merevisi turun proyeksi 2025 menjadi 4,6-5,4% pada Mei 2025 karena perlambatan global, tapi tren positif konsumsi akhir tahun menjadi katalisator optimisme untuk 2026. Menurut laporan BI pada Agustus 2025, kebijakan moneter akan terus mendukung stabilitas rupiah dan inflasi dalam target 2-4%, sambil memantau dampak tarif AS yang bisa menekan ekspor Indonesia seperti tekstil dan elektronik.

Perlambatan global diprediksi BI dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal AS yang bisa mengganggu rantai pasok, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang bergantung pada ekspor ke AS dan China. World Bank dalam laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) menyoroti bahwa ketegangan dagang ini bisa menurunkan pertumbuhan Asia Tenggara hingga 0,5 poin persen pada 2026. Namun, untuk Indonesia, peningkatan konsumsi rumah tangga di Q4 2025—seperti yang diprediksi BI—didukung oleh mesin ekonomi domestik seperti belanja sosial dan subsidi, yang membuat pertumbuhan tetap resilien di atas rata-rata global. Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa stimulus ini bisa menambah 0,2-0,3% terhadap GDP akhir tahun, meski tantangan seperti banjir di Sumatera bisa mempengaruhi.

Secara keseluruhan, proyeksi ini menjadi sinyal bagi pemerintah untuk memperkuat ketahanan domestik melalui diversifikasi ekspor dan investasi infrastruktur, agar Indonesia tetap tumbuh di atas 5% pada 2026 meski global melambat.