Bitcoin Bakal 'Hanya' Rp1,7 Juta Jika Redenominasi Rupiah Diterapkan, Purbaya: Target Selesai 2027

11/13/20252 min baca

gold and black round emblem
gold and black round emblem

Surakarta, 13 November 2025 - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi, yang akan menyederhanakan nilai mata uang dari Rp1.000 menjadi Rp1 tanpa mengubah daya beli masyarakat. Kebijakan ini akan berdampak signifikan pada aset digital seperti Bitcoin, di mana harga saat ini sekitar Rp1,7 miliar per BTC akan terlihat lebih ringkas menjadi Rp1,7 juta. Menurut data terbaru dari CoinMarketCap pada 13 November 2025, harga Bitcoin mencapai Rp1.701.706.993, yang setelah redenominasi akan menjadi Rp1.701,71—secara psikologis membuat aset kripto ini tampak lebih "terjangkau" bagi investor Indonesia. Rencana ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029, dengan target penyelesaian RUU pada 2027 di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). "RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027," demikian bunyi PMK tersebut.

Redenominasi rupiah melibatkan penghapusan tiga angka nol dari nominal mata uang, sehingga transaksi sehari-hari menjadi lebih sederhana tanpa mempengaruhi nilai tukar atau daya beli. Misalnya, gaji Rp10 juta akan menjadi Rp10.000 baru, dan harga Bitcoin Rp1,7 miliar akan berubah menjadi Rp1,7 juta—tetap setara dalam nilai riil. Purbaya menegaskan bahwa kebijakan ini bukan untuk waktu dekat, melainkan bergantung pada kesiapan Bank Indonesia (BI). "Redenom itu kebijakan bank sentral, dan dia nanti akan terapkan sesuai dengan kebutuhan pada waktunya, tetapi enggak sekarang, enggak tahun depan," ujarnya dalam konferensi pers pada 10 November 2025. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menambahkan bahwa persiapan akan melibatkan stabilitas politik, ekonomi, sosial, dan teknis untuk memastikan transisi lancar.

Manfaat utama redenominasi termasuk efisiensi transaksi dan pembukuan akuntansi, karena jumlah digit lebih sedikit mengurangi risiko kesalahan dalam penulisan angka besar. Bagi sektor kripto seperti Bitcoin, penyederhanaan ini mempermudah pengelolaan keuangan digital dan membuat nominal aset tampak lebih "kuat" secara psikologis, sehingga berpotensi meningkatkan minat investor ritel. Selain itu, kebijakan ini dapat mendukung transformasi digital ekonomi Indonesia, memperbaiki citra rupiah di mata global, dan menghemat biaya pencetakan uang. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebut Indonesia baru siap dalam 8-10 tahun ke depan, ketika ekonomi lebih stabil, untuk menghindari risiko seperti kebingungan masyarakat atau inflasi psikologis.

Meski demikian, risiko tidak bisa diabaikan. Anggota DPR dari Komisi XI, Kamrussamad, mengungkap dampak buruk seperti biaya tinggi untuk mencetak uang baru dan potensi kegagalan jika ekonomi tidak stabil, yang bisa menimbulkan kekacauan sosial. Penelitian dari Bulletin of Monetary Economics and Banking menunjukkan bahwa redenominasi dapat meningkatkan biaya operasional perusahaan jika tidak dikelola dengan baik. Contoh dari negara lain memberikan pelajaran berharga. Turki sukses pada 2005 dengan menghapus enam nol dari lira lama setelah persiapan panjang, yang meningkatkan kepercayaan publik dan efisiensi ekonomi. Sebaliknya, Zimbabwe gagal karena hiperinflasi ekstrem; negara itu melakukan redenominasi berkali-kali antara 2006-2009, menghapus hingga 25 nol, tapi akhirnya meninggalkan mata uang nasionalnya. Hungaria mencatat rekor dengan menghapus 29 nol pada 1946 akibat hiperinflasi pasca-Perang Dunia II, tapi keberhasilan bergantung pada stabilisasi ekonomi pasca-reformasi. Di Rusia (1998) dan Rumania (2005), redenominasi berhasil setelah memastikan stabilitas makroekonomi, sementara kegagalan Korea Utara (2009) disebabkan kurangnya transparansi.

Rencana ini sejalan dengan visi pemerintah Prabowo-Gibran untuk modernisasi ekonomi, meski masih memerlukan persetujuan DPR dan sosialisasi masif. BI menekankan bahwa redenominasi bukan sanering (pemotongan nilai), tapi penyederhanaan untuk efisiensi jangka panjang. Dengan harga Bitcoin yang fluktuatif, kebijakan ini bisa menjadi katalisator bagi adopsi kripto lebih luas di Indonesia, asal diterapkan dengan hati-hati untuk menjaga stabilitas pasar keuangan.