Cadangan Devisa RI Anjlok ke Level Terendah dalam 2 Tahun di Tengah Tekanan Rupiah
Jakarta, 9 Mei 2025 – Cadangan devisa Indonesia mencatat penurunan signifikan sebesar US$4,6 miliar pada April 2025, mencapai US$157,1 miliar, level terendah dalam dua tahun terakhir. Penurunan ini merupakan yang terbesar sejak Mei 2023 dan dipicu oleh intervensi agresif Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang tertekan, pembayaran utang luar negeri, serta kebijakan pemerintah terkait devisa hasil ekspor (DHE). Tekanan global akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, juga turut memperburuk situasi ekonomi domestik.
Faktor Utama Penurunan Cadangan Devisa
Menurut Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, ada tiga pemicu utama penurunan cadangan devisa. Pertama, intervensi BI di pasar valuta asing (valas) untuk mencegah pelemahan lebih lanjut rupiah, yang sempat menyentuh Rp17.000 per dolar AS pada awal April 2025. "Kami melakukan langkah stabilisasi untuk menjaga kepercayaan pasar," ujar Ramdan dalam konferensi pers pada 8 Mei 2025. Kedua, pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo pada periode tersebut. Ketiga, kebijakan pemerintah yang mewajibkan eksportir sumber daya alam menyimpan 100% pendapatan dalam dolar AS di bank domestik selama minimal satu tahun, efektif sejak Maret 2025.
Kebijakan DHE ini, meskipun bertujuan meningkatkan likuiditas valas di dalam negeri, justru mengurangi aliran masuk ke cadangan devisa BI dalam jangka pendek. Data dari Reuters menyebutkan bahwa kebijakan ini memengaruhi sektor pertambangan dan energi, yang menyumbang lebih dari 40% ekspor Indonesia. "Dampaknya terasa pada cadangan devisa karena valas yang seharusnya masuk ke BI kini tertahan di sistem perbankan," ungkap analis ekonomi dari Reuters, Maria Shen.
Dampak Kebijakan Tarif AS dan Gejolak Pasar Global
Pemberlakuan tarif tinggi oleh Presiden Trump pada April 2025 memicu volatilitas di pasar global. Investor beralih ke aset safe haven seperti dolar AS dan emas, menyebabkan capital outflow dari pasar emerging seperti Indonesia. Akibatnya, rupiah terdepresiasi hingga Rp17.100 per dolar AS di pasar non-deliverable forward (NDF) offshore, memaksa BI menggelontorkan cadangan devisa untuk intervensi khusus.
Laporan Bloomberg mencatat bahwa pada awal 2025, rupiah menjadi mata uang dengan performa terburuk di Asia, dengan pelemahan mencapai 5,3% terhadap dolar AS sejak Januari. Tekanan ini juga berdampak luas, termasuk pada pasar saham dan kripto. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 3,2% pada 8 April 2025, hingga perdagangan sempat dihentikan sementara. Di pasar kripto, Bitcoin turun 4% dalam 24 jam, mencerminkan sentimen risk-off global.
Namun, tekanan mulai mereda pada pertengahan April. Rupiah berhasil rebound 2,8% ke level Rp16.543 per dolar AS, didukung oleh intervensi BI dan stabilisasi pasar global. "Rebound ini menunjukkan bahwa langkah BI cukup efektif, meski cadangan devisa tergerus," kata ekonom senior dari The Jakarta Post, Dwi Susanto.
Tren Cadangan Devisa: Data dan Analisis
Penurunan cadangan devisa pada April 2025 menjadi sorotan karena merupakan yang terdalam dalam 12 bulan terakhir. Berdasarkan data Finansial Bisnis, cadangan devisa turun dari US$161,7 miliar pada Maret 2025 menjadi US$157,1 miliar pada April 2025. Sebagai perbandingan, pada Desember 2024, cadangan devisa mencapai puncaknya di US$165,7 miliar, berkat penerimaan pajak, pinjaman luar negeri, dan devisa migas.
Meski turun, BI menegaskan bahwa cadangan devisa masih cukup kuat, mampu membiayai 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri—di atas standar internasional 3 bulan impor. Ekonom PT Bank Mandiri, Faisal Rachman, memproyeksikan cadangan devisa akan stabil di kisaran US$155-158 miliar hingga akhir 2025, asalkan tekanan eksternal mereda. "Namun, jika tarif AS berlanjut atau konflik geopolitik meningkat, BI perlu strategi tambahan," tambahnya.
Implikasi Ekonomi dan Respon Kebijakan
Penurunan cadangan devisa memunculkan kekhawatiran akan kemampuan BI menjaga stabilitas rupiah di masa depan, terutama jika tekanan eksternal berlanjut. CNBC Indonesia melaporkan bahwa pelaku pasar khawatir cadangan devisa bisa turun di bawah US$150 miliar jika intervensi tidak diimbangi dengan inflow valas yang memadai.
Di sisi lain, ada peluang yang bisa dimanfaatkan. Depresiasi rupiah dapat meningkatkan daya saing ekspor, terutama komoditas seperti minyak sawit dan batu bara. Selain itu, kebijakan tarif AS yang memengaruhi China membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi manufaktur yang relokasi dari China. "Ini saatnya diversifikasi pasar ekspor dan tingkatkan nilai tambah produk," ujar Menteri Perdagangan, Lutfi Hasan, dalam wawancara dengan Kompas.
Untuk mengantisipasi risiko, pemerintah dan BI didesak memperkuat koordinasi. Langkah seperti optimalisasi kebijakan DHE, diversifikasi sumber valas, dan penguatan fiskal menjadi kunci. "Ketahanan ekonomi Indonesia akan diuji dalam beberapa bulan ke depan," kata Faisal.
Kesimpulan
Penurunan cadangan devisa pada April 2025 mencerminkan tantangan ekonomi yang kompleks, dari tekanan global hingga kebijakan domestik. Meski rupiah menunjukkan tanda pemulihan, stabilitas jangka panjang bergantung pada respons cepat dan terkoordinasi dari otoritas moneter dan fiskal. Dengan ketidakpastian global yang masih membayangi, Indonesia perlu memanfaatkan peluang sekaligus mengelola risiko dengan hati-hati.