China Hadapi Ancaman Tarif hingga 155% dari AS Jika Kesepakatan Dagang Gagal

10/21/20252 min baca

Hasil Pertemuan AS-China: Tarif Dikurangi, Namun Tetap Dijalankan
Hasil Pertemuan AS-China: Tarif Dikurangi, Namun Tetap Dijalankan

Surakarta, 21 Oktober 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali memperingatkan China dengan ancaman kenaikan tarif hingga 155% pada barang-barang impor dari negara tersebut jika kesepakatan perdagangan baru tidak tercapai pada 1 November mendatang. Pernyataan ini disampaikan Trump saat menandatangani perjanjian dengan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di White House pada Senin (20/10). "Saya rasa China sangat menghormati kami. Mereka membayar kami dengan tarif yang sangat besar. Seperti yang anda ketahui, mereka membayar 55%, dan itu jumlah yang sangat besar. Namun, China potensi 155% pada 1 November, kecuali kita mencapai kesepakatan," ujar Trump, seperti dilansir dari Bloomberg.

Ancaman ini muncul di tengah ketegangan perdagangan yang semakin memanas antara AS dan China. Sebelumnya, pada September 2025, Trump telah mengenakan tarif tambahan 100% terhadap barang-barang China sebagai respons atas kebijakan ekspor mineral tanah jarang Beijing. Mineral ini vital untuk industri teknologi tinggi, dan China menguasai sekitar 70% pasokan global, menurut U.S. Geological Survey. Kenaikan tarif ini diperkirakan akan memperburuk defisit perdagangan AS dengan China, yang mencapai US$375 miliar pada 2024, seperti data dari U.S. Census Bureau.

Trump menekankan bahwa tujuannya adalah mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dengan Presiden China Xi Jinping. "Saya berharap kita mungkin akan mencapai kesepakatan perdagangan yang sangat adil dengan Presiden Xi dari Tiongkok. Saya rasa sebagian besar dari Anda akan hadir. Ini akan sangat menarik," tambah Trump, mengisyaratkan potensi pertemuan di KTT APEC pada akhir Oktober.

Latar Belakang Ketegangan

Ketegangan perdagangan AS-China telah berlangsung sejak 2018, ketika Trump pertama kali memberlakukan tarif untuk mengatasi praktik perdagangan yang dianggap tidak adil. Menurut The Wall Street Journal, total tarif AS terhadap China mencapai 25% pada barang senilai US$550 miliar, sementara China membalas dengan tarif serupa. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi global melambat 0,5% pada 2019, menurut International Monetary Fund (IMF).

Pada 2025, eskalasi baru muncul setelah China membatasi ekspor mineral tanah jarang sebagai respons terhadap pembatasan teknologi AS. Mineral ini penting untuk semikonduktor, baterai EV, dan peralatan militer. Menurut Reuters, kebijakan ini bisa mengganggu rantai pasok global, dengan AS yang bergantung 80% pada impor dari China untuk mineral ini.

Dampak pada Pasar Keuangan

Ancaman ini memicu gejolak di pasar saham AS, dengan S&P 500 turun 1,5%, Nasdaq 2,4%, dan Dow Jones 1,9%, menurut MarketWatch. Di Asia, IHSG Indonesia turun 0,5% ke 7.892, sementara rupiah melemah ke Rp16.454 per dolar AS, dipengaruhi oleh capital outflow, seperti dilaporkan Bisnis Indonesia.

Di pasar kripto, Bitcoin naik tipis ke US$111.000, menurut CoinMarketCap, karena investor mencari lindung nilai terhadap ketidakstabilan fiat. "Ketegangan ini bisa dorong investor ke crypto sebagai alternatif," kata analis Ted Pillow di X.

Respons dari China dan Prediksi Ahli

China melalui Kementerian Perdagangan mengecam ancaman ini sebagai "tindakan sewenang-wenang" yang melanggar aturan WTO. "Kami siap berdialog, tapi tidak akan mundur dari kebijakan kami," ujar juru bicara He Yadong. Menurut South China Morning Post, China sedang mempertimbangkan balasan seperti pembatasan ekspor lithium, yang bisa memengaruhi industri EV AS.

Ekonom Nouriel Roubini dari NYU memperingatkan bahwa eskalasi perang dagang bisa menambah inflasi AS 0,3% dan memperlambat PDB 0,2% pada 2026. Di sisi lain, analis dari Goldman Sachs memperkirakan bahwa jika diplomasi berhasil, pasar bisa pulih cepat, meskipun ketidakpastian tetap membayangi.

Di Indonesia, sebagai mitra dagang, ancaman ini bisa memengaruhi ekspor komoditas seperti nikel, dengan potensi penurunan 10-15% jika perang dagang meluas, menurut The Jakarta Post.

Kesimpulan

Ancaman tarif Trump ke China mencerminkan ketegangan perdagangan yang berkepanjangan, dengan dampak langsung pada pasar saham dan aset berisiko. Dengan dolar AS yang kuat dan aset lindung nilai seperti emas dan Bitcoin menguat, pasar global tetap waspada terhadap risiko perang dagang yang lebih luas. Bagi Indonesia, ini peluang tapi juga risiko, dengan pasar domestik turun. Investor waspada, tapi analis prediksi dampak jangka pendek jika diplomasi berlanjut.