Dampak Konflik Iran-AS: Pasar Global Bergejolak di Tengah Ketidakpastian Geopolitik
Jakarta, 23 Juni 2025 – Konflik militer antara Amerika Serikat (AS) dan Iran, yang ditandai dengan serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran dan penutupan Selat Hormuz oleh Iran, telah memicu gejolak besar di pasar keuangan global. Ketegangan geopolitik ini mengancam pasokan minyak dunia, memicu lonjakan harga komoditas, dan menciptakan volatilitas di berbagai kelas aset, termasuk saham, emas, dan mata uang kripto. Para investor bereaksi cepat terhadap ketidakpastian ini, dengan arus modal mengalir ke aset safe-haven seperti emas, sementara pasar saham dan kripto mengalami tekanan signifikan.
Lonjakan Harga Minyak dan Dampaknya pada Ekonomi Global
Harga minyak mentah Brent sempat melonjak tajam sebesar 5,7% hingga mencapai US$81,40 per barel pada Senin (23/06), sebelum turun kembali ke US$78,14. Kenaikan ini dipicu oleh penutupan Selat Hormuz oleh Iran, jalur strategis yang mengangkut sekitar 20% pasokan minyak dunia. Menurut laporan dari Bloomberg, penutupan ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak global, yang dapat mendorong inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di banyak negara. "Jika Selat Hormuz ditutup dalam jangka panjang, kita bisa melihat harga minyak mencapai US$100 per barel atau lebih, yang akan berdampak serius pada ekonomi global," kata Helima Croft, kepala strategi komoditas di RBC Capital Markets.
Analis dari JPMorgan memperingatkan bahwa jika rute penting ini tetap tertutup, harga minyak bisa melonjak hingga US$130 per barel, yang berpotensi mendorong inflasi AS hingga 5%. Lonjakan harga minyak ini juga dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan membebani bank sentral untuk mengetatkan kebijakan moneter.
Emas Menguat sebagai Aset Safe-Haven
Di tengah ketidakpastian ini, emas menguat sebagai aset safe-haven, dengan harga mencapai US$3.462 per ons, naik 44,33% secara tahunan. Menurut The Guardian, harga emas mendekati level tertinggi sepanjang masa di US$3.500, yang dicapai pada April 2025, mencerminkan permintaan yang tinggi dari investor yang mencari perlindungan dari volatilitas pasar. "Gejolak geopolitik sering kali mendorong investor ke emas, dan kali ini tidak berbeda," kata Charu Chanana, kepala strategi investasi di Saxo.
Goldman Sachs dalam laporan terbarunya memproyeksikan bahwa harga emas dapat mencapai US$3.700 per ons pada akhir 2025 dan US$4.000 per ons pada pertengahan 2026, didorong oleh permintaan yang kuat dari bank sentral dan investor institusional.
Pasar Kripto Bergejolak: Bitcoin dan Ethereum Tertekan
Sementara emas menguat, pasar mata uang kripto justru mengalami tekanan signifikan. Bitcoin (BTC) sempat anjlok 4,02% ke level US$98.242 pada Senin (23/06), sebelum memantul kembali ke US$101.000 dalam 24 jam terakhir. Menurut data dari CNBC, lebih dari US$1 miliar (sekitar Rp16 triliun) posisi kripto terlikuidasi akibat volatilitas yang tinggi.
Korelasi antara Bitcoin dan saham teknologi, khususnya indeks Nasdaq, semakin meningkat, menandakan pergeseran peran Bitcoin dari aset safe-haven menjadi aset berisiko. "Bitcoin kini lebih sensitif terhadap sentimen pasar saham, terutama teknologi, daripada berfungsi sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian geopolitik," ungkap seorang analis kripto dari CoinDesk.
Sementara itu, Ethereum (ETH) mengalami penurunan yang lebih tajam, turun 8,5% sejak awal konflik, mencerminkan volatilitas yang lebih besar di pasar altcoin.
Pasar Saham Global Tertekan
Pasar saham global juga merasakan dampak dari konflik ini. Indeks Nasdaq futures turun 2,53%, Dow Jones anjlok 2,04%, dan S&P 500 melemah 1,61%. Di Asia, bursa saham Jepang (Nikkei) dan Korea Selatan (Kospi) masing-masing turun 2,61% dan 1,65%, menunjukkan sentimen negatif yang meluas.
Menurut laporan dari The New York Times, penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor akan dampak jangka panjang dari konflik terhadap pasokan energi dan stabilitas ekonomi global. "Investor khawatir bahwa gangguan pasokan minyak dapat memicu inflasi yang lebih tinggi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi," tulis The New York Times.
Dampak pada Mata Uang dan Aset Lainnya
Selain itu, mata uang safe-haven seperti dolar AS dan yen Jepang menguat terhadap mata uang lainnya. Indeks dolar AS naik 0,2% pada Senin (23/06), mencerminkan aliran modal ke aset yang dianggap aman.
Di sisi lain, mata uang negara berkembang, termasuk rupiah Indonesia, mengalami tekanan. Rupiah melemah ke level Rp16.456 per dolar AS, turun dari Rp16.396, akibat sentimen risk-off yang melanda pasar.
Proyeksi dan Rekomendasi
Para ahli memprediksi bahwa volatilitas pasar akan berlanjut selama konflik ini belum terselesaikan. "Jika ketegangan geopolitik meningkat, kita bisa melihat harga minyak dan emas terus naik, sementara pasar saham dan kripto menghadapi tekanan lebih lanjut," kata Neil Wilson, kepala strategi investasi di Saxo UK.
Bagi investor, diversifikasi portofolio dengan aset safe-haven seperti emas atau obligasi pemerintah dapat membantu mengurangi risiko. Selain itu, memantau perkembangan geopolitik dan kebijakan bank sentral, khususnya The Fed, menjadi krusial untuk menavigasi ketidakpastian ini.