Dolar AS Nyungsep ke Level Terendah dalam 50 Tahun Terakhir

10/6/20252 min baca

a close up of a sign
a close up of a sign

Surakarta, 6 Oktober 2025 – Dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan drastis ke level terendah dalam 50 tahun terakhir, sementara Bitcoin (BTC) mencetak rekor all-time high (ATH) baru di atas US$125.000 per koin pada Minggu (06/10). Pelemahan dolar ini, yang tercermin dari indeks DXY turun di bawah 90, menjadi sorotan utama di pasar keuangan global, di tengah shutdown pemerintahan AS yang memicu ketidakpastian ekonomi. Menurut data dari The Kobeissi Letter, tidak hanya Bitcoin yang melonjak, tetapi aset-aset besar seperti emas dan indeks S&P 500 juga menguat tajam, menandakan pergeseran sentimen investor ke aset alternatif.

Harga emas berjangka naik 46,46% sepanjang tahun, mencapai level tertinggi baru di US$3.867 per ons, sementara indeks S&P 500 melonjak 40% dalam enam bulan terakhir, menurut Bloomberg. Kapitalisasi pasar Bitcoin sendiri mencapai rekor US$2,5 triliun, dengan kenaikan 5% dalam 24 jam terakhir. Kondisi ini menggambarkan hubungan terbalik antara dolar AS dan aset-aset ini, di mana pelemahan dolar memicu aliran modal ke emas, saham, dan kripto sebagai lindung nilai.

Menurut Reuters, indeks dolar AS (DXY) turun 10,57% sejak awal tahun, mencapai level terendah sejak 1975. Penurunan ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk shutdown pemerintahan AS yang berlangsung sejak 1 Oktober 2025 akibat kebuntuan anggaran di Kongres. Shutdown ini memengaruhi rilis data ekonomi penting, seperti laporan tenaga kerja, yang bisa memperburuk ketidakpastian pasar. Presiden Donald Trump, yang menolak kompromi dengan Demokrat, bahkan mengancam pemecatan massal pegawai federal, menambah kekacauan.

Ekonom Nouriel Roubini dari NYU, dalam wawancara dengan CNBC, memperingatkan bahwa pelemahan dolar ini bisa memperburuk inflasi AS, yang telah naik ke 2,9% pada Agustus 2025. "Dolar yang lemah membuat impor lebih mahal, yang pada gilirannya mendorong harga barang naik," ujarnya. Sementara itu, analis dari Goldman Sachs memperkirakan dolar akan terus lemah hingga akhir 2025, dengan DXY di kisaran 85-90, didorong oleh pemangkasan suku bunga The Fed yang kemungkinan berlanjut.

Dampak pada Pasar Keuangan Global

Pelemahan dolar AS ini memicu reli di aset alternatif. Emas, sebagai lindung nilai tradisional, naik ke level tertinggi baru, didorong oleh ketidakpastian geopolitik dan inflasi. Menurut Kitco News, permintaan emas dari bank sentral naik 20% pada 2025, dengan China dan India sebagai pembeli utama. Di Indonesia, emas Antam naik Rp25.000 menjadi Rp2.237.000 per gram, menurut Logam Mulia.

Pasar saham AS juga mengalami tekanan, dengan S&P 500 turun 0,79% dan Nasdaq Composite -0,92%, menurut MarketWatch. Namun, Bitcoin melonjak ke US$125.000, didorong oleh aliran modal dari investor yang mencari aset non-fiat. CoinDesk melaporkan bahwa kapitalisasi pasar Bitcoin mencapai US$2,5 triliun, naik 40% sepanjang tahun, mencerminkan kepercayaan investor terhadap aset desentralisasi di tengah pelemahan dolar.

Di Asia, IHSG turun 1,30% ke 7.665, sementara rupiah melemah ke Rp16.454 per dolar AS, menurut Bisnis Indonesia. Pelemahan ini dipicu oleh capital outflow akibat ketidakpastian AS, tapi juga membuka peluang bagi eksportir Indonesia seperti di sektor pertanian.

Prediksi dan Rekomendasi

Menurut The Kobeissi Letter, pelemahan dolar ini adalah yang terburuk dalam 50 tahun, dengan potensi turun lebih lanjut jika shutdown berlarut. Analis memperkirakan dolar bisa mencapai level 85 pada akhir 2025 jika pemangkasan suku bunga The Fed berlanjut. Untuk investor, diversifikasi ke emas dan Bitcoin disarankan sebagai lindung nilai, sementara saham teknologi bisa tertekan jika inflasi naik.

Di Indonesia, ekonom Faisal Basri memperingatkan bahwa pelemahan dolar bisa memicu inflasi impor, tapi juga menguntungkan ekspor. "Pemerintah harus siapkan buffer fiskal," ujarnya di Kompas.

Kesimpulan

Pelemahan dolar AS ke level terendah 50 tahun mencerminkan ketidakpastian yang mendalam di ekonomi terbesar dunia, dipicu oleh shutdown pemerintahan dan kebijakan Trump. Dengan Bitcoin dan emas yang menguat, investor global beralih ke aset alternatif, sementara pasar saham mengalami tekanan. Situasi ini menekankan pentingnya diversifikasi di tengah volatilitas yang tinggi.