Emas Antam 'Hanya' Rp2.396 per Gram Jika Redenominasi Rupiah Diterapkan, Purbaya: Bukan Tahun Depan

11/13/20253 min baca

gold and silver round coins
gold and silver round coins

Surakarta, 13 November 2025 - Rencana redenominasi rupiah yang akan memangkas tiga angka nol dari nominal mata uang tanpa mengubah nilai riilnya kembali menjadi sorotan, terutama dampaknya terhadap harga aset seperti emas Antam. Berdasarkan data terbaru dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam) melalui situs Logam Mulia, harga emas batangan per gram pada 13 November 2025 mencapai Rp2.396.000, naik Rp29.000 dari harga sebelumnya Rp2.367.000 pada 12 November 2025. Jika redenominasi diterapkan, harga ini akan terlihat lebih sederhana menjadi hanya Rp2.396 per gram, meskipun daya beli tetap sama. Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, dengan target penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi pada 2027 di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa implementasi tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, karena merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI) dan memerlukan persiapan matang.

Redenominasi rupiah bukanlah konsep baru; ide ini pernah diusulkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010, tetapi mandek karena kondisi ekonomi belum stabil. Dalam PMK 70/2025, redenominasi digambarkan sebagai upaya untuk mendorong efisiensi perekonomian, seperti mempercepat transaksi, mengurangi risiko kesalahan manusia dalam pencatatan angka besar, dan meningkatkan daya saing nasional. Proses ini melibatkan penyederhanaan nilai mata uang, misalnya mengubah Rp1.000 menjadi Rp1, tanpa mempengaruhi nilai tukar atau daya beli. Contoh konkretnya terlihat pada harga emas Antam: dengan harga saat ini Rp2.396.000 per gram, setelah redenominasi akan menjadi Rp2.396, yang secara psikologis membuat rupiah terlihat lebih kuat dibandingkan mata uang negara tetangga seperti ringgit Malaysia atau baht Thailand.

Purbaya Yudhi Sadewa, dalam konferensi pers pada 10 November 2025, membantah rumor bahwa redenominasi akan diterapkan segera. "Redenom itu kebijakan bank sentral, dan dia nanti akan terapkan sesuai dengan kebutuhan pada waktunya, tetapi enggak sekarang, enggak tahun depan," ujarnya. Ia menekankan bahwa rencana ini masih dalam tahap pembahasan RUU, dengan penyelesaian ditargetkan 2027, dan memerlukan koordinasi lintas lembaga untuk menghindari dampak negatif. Pernyataan ini sejalan dengan respons dari Bank Indonesia melalui Kepala Departemen Komunikasi, Ramdan Denny Prakoso, yang memastikan proses akan disiapkan secara hati-hati. "Pelaksanaan redenominasi akan memperhatikan berbagai aspek, termasuk stabilitas politik, ekonomi, dan sosial, serta kesiapan teknis agar transisi berjalan lancar tanpa mengganggu daya beli masyarakat," katanya. Denny menambahkan bahwa BI akan fokus menjaga stabilitas rupiah selama proses, dan redenominasi tidak akan mengurangi nilai atau daya beli, melainkan hanya menyederhanakan digit.

Manfaat redenominasi bagi ekonomi Indonesia cukup signifikan. Selain efisiensi transaksi dan administrasi, kebijakan ini dapat memperbaiki persepsi terhadap rupiah, menghemat biaya pencetakan uang, dan mempermudah pembukuan akuntansi. Ekonom dari OCBC NISP menilai bahwa redenominasi bisa meningkatkan kredibilitas rupiah di mata investor internasional, serta mendukung pertumbuhan ekonomi melalui sistem keuangan yang lebih modern. Di sisi lain, risiko tidak bisa diabaikan, seperti biaya tinggi untuk mencetak uang baru, potensi kebingungan masyarakat jika sosialisasi kurang, dan risiko inflasi psikologis jika tidak dikelola dengan baik. Analis dari Tempo menyoroti bahwa redenominasi harus dilakukan saat ekonomi stabil untuk menghindari kegagalan.

Pengalaman negara lain bisa menjadi pelajaran. Turki berhasil menerapkan redenominasi pada 2005 dengan menghapus enam nol dari lira lama, menjadi lira baru, setelah persiapan tujuh tahun dan saat ekonomi mulai stabil, yang meningkatkan kepercayaan publik dan efisiensi. Sebaliknya, Zimbabwe gagal karena hiperinflasi ekstrem; negara itu melakukan redenominasi empat kali antara 2006–2009, menghapus hingga 25 nol, tapi akhirnya meninggalkan mata uang nasionalnya karena ketidakstabilan ekonomi. Contoh sukses lain termasuk Rusia (1998) dan Rumania (2005), yang berhasil setelah memastikan stabilitas makroekonomi, sementara kegagalan seperti di Korea Utara (2009) disebabkan kurangnya transparansi. Bagi Indonesia, kunci sukses adalah sosialisasi masif dan timing yang tepat, agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi yang saat ini stabil.

Dengan rencana ini, pemerintah Prabowo-Gibran melalui Kementerian Keuangan diharapkan dapat mewujudkan visi modernisasi rupiah, meski masih memerlukan persetujuan DPR dan koordinasi dengan BI. Hingga kini, DPR belum satu suara, dengan sebagian anggota menekankan pentingnya stabilitas sebelum implementasi. Jika berhasil, redenominasi bisa menjadi langkah strategis menuju ekonomi yang lebih efisien dan kompetitif di kawasan ASEAN.