Emas Turun Usai Trump Ancam Tarif Tambahan ke Negara BRICS
Jakarta, 7 Juli 2025 – Harga emas batangan turun 0,9% menjadi sekitar US$3.306 per ons pada Senin (07/07), menyusul ancaman Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang mengisyaratkan pemberlakuan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara BRICS yang dianggap mendukung kebijakan "anti-Amerika". Penurunan ini terjadi di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan AS, yang mendorong pedagang untuk memantau perkembangan lebih lanjut. Di pasar domestik Indonesia, emas Antam juga terkena dampak, turun Rp7.000 menjadi Rp1.841.000 per gram, sementara dolar AS menguat terhadap rupiah, ditutup pada Rp16.219 dari sebelumnya Rp16.185.
Ancaman Tarif Trump dan Reaksi Pasar
Trump menyampaikan ancamannya melalui platform media sosial Truth Social, dengan pernyataan tegas:
"Negara mana pun yang bersekutu dengan kebijakan anti-Amerika BRICS, akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10%. Tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan ini."
Ancaman ini muncul sebagai respons terhadap upaya BRICS—organisasi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, dan anggota baru seperti Indonesia—untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan global. Dengan 11 negara anggota, BRICS kini mewakili sekitar 50% populasi dunia dan 40% output ekonomi global, menjadikannya kekuatan ekonomi yang signifikan.
Menurut Bloomberg, penguatan dolar AS sebesar 0,2% terhadap mata uang utama lainnya turut memengaruhi penurunan harga emas. Emas, yang dihargakan dalam dolar, menjadi lebih mahal bagi investor yang menggunakan mata uang lain, sehingga permintaan menurun. Analis dari Kitco News mencatat bahwa meskipun emas biasanya menjadi aset safe-haven di masa ketidakpastian, penguatan dolar akibat ancaman tarif Trump kali ini mendominasi dinamika pasar.
Latar Belakang dan Ketegangan dengan BRICS
Ini bukan pertama kalinya Trump mengancam BRICS terkait isu de-dolarisasi. Sebelumnya, ia pernah menyebutkan potensi tarif 100% jika blok tersebut melanjutkan rencana untuk menggantikan dolar AS dengan sistem pembayaran alternatif. Laporan dari The Wall Street Journal menyebutkan bahwa Trump memandang langkah BRICS sebagai ancaman langsung terhadap supremasi ekonomi AS, terutama karena dolar AS masih menjadi mata uang cadangan dunia yang dominan.
Pemimpin BRICS baru-baru ini mengadakan pertemuan di Rio de Janeiro, di mana mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap kebijakan tarif unilateral AS. Dalam pernyataan resmi yang dikutip Reuters, mereka menegaskan:
"Kami menentang tindakan sewenang-wenang yang mengganggu perdagangan bebas dan melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)."
Sebagai respons, BRICS berkomitmen untuk mempercepat pengembangan sistem pembayaran lintas batas yang tidak bergantung pada dolar AS. Menurut The Guardian, salah satu opsi yang dibahas adalah penggunaan teknologi blockchain atau bahkan penciptaan mata uang bersama untuk perdagangan antarnegara.
Dampak Ekonomi Global
Para ekonom memperingatkan bahwa eskalasi perang tarif dapat membawa konsekuensi serius bagi ekonomi global. Studi dari J.P. Morgan Research memperkirakan bahwa tarif tambahan 10% pada BRICS dapat meningkatkan biaya barang impor, mengganggu rantai pasok, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global hingga 0,5% dalam setahun. Michael Feroli, kepala ekonom AS di J.P. Morgan, menyatakan:
"Ini bukan hanya konflik bilateral, tetapi akan menciptakan efek domino yang dirasakan seluruh dunia."
Di Indonesia, penguatan dolar AS terhadap rupiah dapat memperburuk tekanan inflasi, terutama pada sektor impor. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau situasi dan siap mengintervensi pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas rupiah.
Upaya De-Dolarisasi BRICS
Ancaman Trump tampaknya justru memperkuat tekad BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Geopolitical Economy Report melaporkan bahwa sanksi ekonomi AS terhadap Rusia dan Iran telah mendorong blok ini untuk mencari alternatif finansial. Dalam pertemuan Rio de Janeiro, pejabat China mengungkapkan bahwa mereka sedang menjajaki sistem pembayaran berbasis blockchain untuk transaksi antarnegara BRICS.
Meski demikian, beberapa analis skeptis terhadap keberhasilan de-dolarisasi dalam jangka pendek. Brad Setser, mantan ekonom Departemen Keuangan AS, mengatakan kepada CNBC:
"Dolar AS tetap dominan karena likuiditas dan stabilitas pasar keuangan AS. De-dolarisasi adalah proses panjang yang membutuhkan konsensus global."
Situasi di Indonesia
Di dalam negeri, penurunan harga emas Antam mencerminkan tren global, meskipun permintaan emas fisik tetap tinggi sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi. Penguatan dolar AS juga memengaruhi daya beli masyarakat terhadap barang impor. Pemerintah Indonesia, sebagai bagian dari BRICS, dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan hubungan dengan AS dan solidaritas dengan blok tersebut.
Kesimpulan
Penurunan harga emas pasca-ancaman tarif Trump menunjukkan betapa sensitifnya pasar global terhadap kebijakan perdagangan AS. Sementara dolar AS menguat dan emas melemah, BRICS terus mencari cara untuk mengurangi dominasi dolar, sebuah langkah yang dapat mengubah tatanan ekonomi dunia di masa depan. Bagi Indonesia, situasi ini menuntut strategi ekonomi yang cermat untuk menghadapi dampak jangka pendek dan memanfaatkan peluang jangka panjang dalam aliansi BRICS.