Gen Z Bergelar Sarjana Keluhkan AI Rebut Lapangan Pekerjaan: Tantangan dan Peluang di Era Digital

5/2/20253 min baca

group of people wearing black academic dress
group of people wearing black academic dress

Jakarta, 2 Mei 2025 – Generasi Z (Gen Z), yang dikenal sebagai generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, sedang menghadapi tantangan besar di pasar kerja. Survei terbaru dari platform pencari kerja Indeed mengungkapkan bahwa 49% pencari kerja Gen Z bergelar sarjana merasa gelar mereka kehilangan nilai di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI). Banyak dari mereka merasa bahwa keterampilan dan pendidikan tinggi yang telah mereka raih menjadi kurang relevan karena AI mulai mendominasi berbagai industri.

AI Mengubah Lanskap Pekerjaan

Para pencari kerja muda ini menyuarakan kekhawatiran bahwa AI membuat keahlian mereka terasa usang. Menurut laporan Indeed, semakin banyak perusahaan yang mengabaikan persyaratan pendidikan minimal sarjana, lebih memilih kandidat dengan keterampilan praktis atau pengalaman langsung dalam menggunakan teknologi AI. Fenomena ini diperparah oleh temuan sebelumnya dari Hiring Lab, yang memperkirakan bahwa Generative AI (GenAI) dapat menggantikan hingga 55 juta lowongan pekerjaan di Amerika Serikat (AS) dalam berbagai tingkat risiko, dari skala rendah hingga sangat tinggi.

Sektor yang paling terdampak meliputi pekerjaan berbasis pengetahuan dan teknologi, seperti operasi IT, layanan pelanggan, desain, serta dokumentasi. Sebagai contoh, alat AI seperti ChatGPT dan model serupa kini mampu menangani tugas-tugas seperti pembuatan laporan, analisis data, hingga desain grafis sederhana, yang sebelumnya dilakukan oleh tenaga kerja manusia. Laporan dari World Economic Forum (WEF) tahun 2025 juga menyebutkan bahwa 60% pekerjaan di bidang teknologi informasi berpotensi diotomatisasi dalam dekade mendatang, memicu kekhawatiran di kalangan Gen Z yang baru memasuki dunia kerja.

Tekanan Adaptasi di Semua Level

Penasihat Strategi Bakat Senior Indeed, Linsey Fagan, menyoroti tekanan besar yang dirasakan oleh semua tingkatan pekerja, dari level pemula hingga eksekutif senior. “AI tidak hanya mengubah cara orang bekerja, tetapi juga apa yang mereka kerjakan, bagaimana mereka dibayar, dan siapa yang dipekerjakan,” ujar Fagan. Ia menekankan bahwa adaptasi menjadi kunci untuk bertahan di era ini. “Setiap karyawan perlu memiliki pemahaman dasar tentang AI dan bagaimana perusahaan menggunakannya. Para pemimpin memainkan peran penting dalam perubahan ini, mendengarkan kebutuhan masing-masing, dan mendukung perkembangannya,” tambahnya.

Fagan juga menyarankan agar perusahaan tidak hanya fokus pada efisiensi yang ditawarkan AI, tetapi juga pada bagaimana teknologi ini dapat hidup berdampingan dengan tenaga kerja manusia. Pelatihan dan pengembangan keterampilan menjadi langkah penting untuk memastikan karyawan tetap relevan di pasar kerja yang berubah cepat.

Sisi Positif: Peluang Pekerjaan Baru

Meskipun AI membawa ancaman terhadap pekerjaan tradisional, ada sisi positif yang tidak boleh diabaikan. Laporan McKinsey & Company (2025) memperkirakan bahwa AI akan menciptakan 20 juta pekerjaan baru secara global pada 2030, terutama di sektor teknologi dan inovasi. Bidang-bidang seperti pengembangan AI, keamanan siber, etika AI, dan manajemen data diperkirakan akan mengalami lonjakan permintaan tenaga kerja. Gen Z, yang dikenal sebagai generasi yang melek teknologi, berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan peluang ini—if mereka dapat beradaptasi dengan cepat.

Sebagai contoh, profesi seperti AI trainer, yang bertugas melatih model AI agar lebih akurat, dan data ethicist, yang memastikan penggunaan AI sesuai dengan prinsip etika, mulai bermunculan sebagai karier baru yang menjanjikan. Selain itu, sektor kreatif juga melihat munculnya peran seperti AI content strategist, yang menggabungkan kreativitas manusia dengan kemampuan AI untuk menghasilkan konten yang lebih efektif.

Pengalaman Gen Z di Indonesia

Di Indonesia, fenomena serupa juga mulai terasa. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh JobStreet Indonesia pada awal 2025, 45% pencari kerja Gen Z di Tanah Air merasa khawatir akan persaingan dengan AI, terutama di bidang administrasi dan layanan pelanggan. Seorang lulusan Teknik Informatika dari Universitas Indonesia, Raka Pratama (24 tahun), mengungkapkan kekhawatirannya: “Saya sudah belajar coding selama bertahun-tahun, tapi sekarang banyak perusahaan lebih memilih alat AI untuk membuat aplikasi sederhana. Saya harus terus belajar hal baru agar tidak ketinggalan.”

Namun, beberapa perusahaan di Indonesia mulai mengambil langkah proaktif. PT Telkom Indonesia, misalnya, telah meluncurkan program pelatihan AI untuk karyawan mudanya, dengan fokus pada pemanfaatan teknologi seperti big data dan machine learning untuk meningkatkan efisiensi operasional. Langkah ini diharapkan dapat menjadi model bagi perusahaan lain dalam mendukung tenaga kerja muda di era digital.

Tantangan dan Cara Mengatasinya

Tantangan terbesar bagi Gen Z adalah kecepatan perubahan teknologi yang sering kali melampaui kecepatan mereka untuk belajar. Deloitte (2025) melaporkan bahwa hanya 30% Gen Z yang merasa siap menghadapi perubahan pasar kerja akibat AI, dengan banyak dari mereka merasa kurang mendapat dukungan dari institusi pendidikan atau tempat kerja mereka.

Untuk mengatasi hal ini, para ahli merekomendasikan beberapa langkah:

  • Pendidikan Berkelanjutan: Gen Z perlu terus meningkatkan keterampilan mereka, terutama di bidang yang tidak mudah digantikan AI, seperti kreativitas, empati, dan pemecahan masalah kompleks.

  • Literasi AI: Memahami cara kerja AI dan bagaimana menggunakannya sebagai alat bantu dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing.

  • Peran Pemimpin: Perusahaan harus berinvestasi dalam pelatihan dan menciptakan budaya kerja yang mendukung kolaborasi antara manusia dan AI.

Masa Depan Pekerjaan di Era AI

Meskipun AI membawa disrupsi, para ahli optimis bahwa kolaborasi antara manusia dan teknologi dapat menciptakan masa depan yang lebih produktif. Gen Z, dengan kemampuan digital mereka yang alami, memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor dalam lanskap kerja baru ini—jika mereka mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Seperti yang dikatakan Fagan, “Ini adalah era di mana adaptasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.”