HARA dan Regi Wahyu: Transformasi Pertanian Indonesia Melalui Blockchain dan NFT

4/26/20253 min baca

a group of people sitting next to a river
a group of people sitting next to a river

Surakarta – Pendiri HARA, Regi Wahyu, telah menjadi pelopor dalam upaya mentransformasi sektor pertanian Indonesia, khususnya bagi petani kecil, dengan memanfaatkan teknologi blockchain dan Non-Fungible Token (NFT). Melalui platform berbasis blockchain yang inovatif, HARA bertujuan untuk mengatasi tantangan lama yang dihadapi petani Indonesia, seperti akses terbatas terhadap data, modal, dan pasar. Teknologi ini diklaim telah membantu sekitar 37.000 petani kecil di seluruh Indonesia, dengan peningkatan pendapatan tahunan sebesar 36%. Namun, meskipun pencapaian ini mengesankan, upaya HARA tidak lepas dari tantangan dan kritik terkait skalabilitas dan keberlanjutan jangka panjang.

Apa Itu HARA dan Bagaimana Cara Kerjanya?

HARA adalah platform pertukaran data terdesentralisasi yang berbasis blockchain, dirancang untuk sektor pertanian. Diluncurkan pada tahun 2015, platform ini bertujuan untuk mengatasi masalah asimetri informasi yang menghambat produktivitas dan akses petani ke layanan keuangan. Dengan menggunakan teknologi blockchain, HARA memungkinkan petani untuk berbagi data pertanian mereka—seperti profil lahan, pola tanam, dan hasil panen—secara aman dan transparan. Sebagai imbalan, petani menerima HARA Token, yang dapat ditukarkan dengan berbagai produk atau layanan dari mitra yang bekerja sama, seperti pulsa, pupuk, atau akses ke layanan keuangan.

Selain blockchain, HARA juga berencana untuk mengintegrasikan NFT sebagai bagian dari ekosistemnya. NFT dapat digunakan untuk memverifikasi kepemilikan lahan atau menciptakan aset digital unik yang mewakili produk pertanian tertentu. Meskipun rencana ini masih dalam tahap pengembangan, potensinya untuk memberikan kepastian hukum dan peluang ekonomi baru bagi petani sangatlah besar. Menurut Regi Wahyu, teknologi ini adalah "solusi tepat" untuk mengoptimalkan ketersediaan dan akurasi data pertanian di Indonesia.

Dampak pada Petani Kecil

Menurut klaim terbaru, HARA telah membantu 37.000 petani kecil di Indonesia, dengan peningkatan pendapatan tahunan sebesar 36%. Angka ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari petani yang tergabung dalam platform HARA, yang kini dapat mengakses layanan keuangan seperti kredit usaha rakyat (KUR) dari bank dengan lebih mudah berkat verifikasi data yang lebih akurat. Pada tahun 2021, HARA dilaporkan telah mengumpulkan data dari lebih dari 30.000 petani, dan jumlah ini terus bertambah seiring ekspansi platform.

Selain peningkatan pendapatan, HARA juga berkontribusi pada inklusi keuangan. Banyak petani di Indonesia yang sebelumnya tidak memiliki akses ke layanan perbankan formal kini dapat mengajukan pinjaman atau asuransi pertanian berkat data yang tervalidasi di platform. Sebagai contoh, pada tahun 2019, HARA berhasil mencairkan dana KUR sebesar Rp573 juta dengan tingkat pengembalian 100%, menunjukkan bahwa petani dapat menjadi nasabah yang andal.

Integrasi Blockchain dan NFT: Peluang dan Tantangan

Teknologi blockchain yang digunakan HARA memastikan bahwa data pertanian disimpan secara aman dan tidak dapat diubah, sehingga meningkatkan transparansi dan kepercayaan di antara pemangku kepentingan. Data ini tidak hanya bermanfaat bagi petani, tetapi juga bagi perusahaan pembiayaan, asuransi, dan penyedia sarana pertanian yang membutuhkan informasi akurat untuk mengembangkan produk dan layanan mereka.

Sementara itu, rencana penggunaan NFT oleh HARA bertujuan untuk menciptakan aset digital yang dapat diperdagangkan atau digunakan sebagai jaminan. Misalnya, NFT dapat mewakili sertifikat kepemilikan lahan atau hasil panen tertentu, memberikan petani akses ke pasar global dan peluang pendapatan tambahan. Namun, integrasi NFT ini masih dalam tahap awal, dan belum ada data konkret mengenai dampaknya bagi petani.

Meskipun demikian, tidak semua pihak sepenuhnya optimis. Beberapa ahli mempertanyakan skalabilitas solusi berbasis blockchain di daerah pedesaan Indonesia yang masih memiliki akses internet terbatas. Selain itu, ada kekhawatiran tentang keberlanjutan jangka panjang, terutama jika petani tidak dapat memahami atau memanfaatkan teknologi ini secara maksimal.

Kritik dan Tantangan yang Dihadapi

Meskipun HARA telah mencatatkan pencapaian signifikan, beberapa tantangan tetap ada. Salah satunya adalah kesulitan dalam mengedukasi petani tentang cara menggunakan aplikasi dan memahami manfaat teknologi blockchain. Menurut Fadmin Malau, seorang dosen agribisnis, petani cenderung fokus pada aspek produksi dan mungkin tidak melihat manfaat langsung dari berbagi data. "Sangat tergantung siapa penggunanya dulu. Kalau menyasar kepada petani secara individu, belum bisa," ujarnya.

Selain itu, meskipun HARA telah bermitra dengan berbagai lembaga, termasuk bank dan perusahaan asuransi, skalabilitas platform ini dipertanyakan. Dengan lebih dari 38 juta petani di Indonesia, mencapai target 2 juta petani pada tahun 2020—sebagaimana diharapkan Regi Wahyu—masih menjadi tantangan besar.

Masa Depan HARA dan Sektor Pertanian Indonesia

HARA bukan satu-satunya inisiatif yang memanfaatkan teknologi untuk mentransformasi pertanian di Indonesia. Teknologi seperti Smart Farming dan Internet of Things (IoT) juga sedang dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pertanian. Namun, HARA tetap unik karena fokusnya pada data dan inklusi keuangan bagi petani kecil.

Dengan dukungan dari investor dan mitra strategis, termasuk kerja sama dengan perusahaan teknologi global seperti Pundi X, HARA berencana untuk memperluas jangkauannya ke negara-negara lain di Asia Tenggara dan Afrika. Jika berhasil, model ini dapat menjadi blueprint bagi negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa di sektor pertanian.