Harga Emas Masih Stagnan, Analis Prediksi Aset Ini Siap Terbang
Jakarta, 22 Juni 2025 – Harga emas Antam dilaporkan stabil di level Rp1.942.000 per gram pada hari Minggu (22/06), meskipun Amerika Serikat (AS) mengumumkan keterlibatannya dalam konflik antara Iran dan Israel. Sementara itu, di pasar internasional, harga Gold Spot (XAUUSD) mengalami kenaikan tipis menjadi US$3.368 per ons, setelah sempat turun ke US$3.365 pada hari yang sama. Penurunan sementara ini dipicu oleh ekspektasi awal investor bahwa Presiden AS, Donald Trump, akan memprioritaskan jalur diplomatik untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah. Namun, keputusan AS untuk terlibat secara militer mengubah sentimen pasar, memperkuat posisi emas sebagai aset safe-haven di tengah gejolak geopolitik.
Latar Belakang Geopolitik dan Reaksi Pasar
Konflik antara Iran dan Israel telah memanas selama beberapa bulan terakhir, dengan eskalasi serangan lintas batas yang meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut. Menurut Reuters, keputusan AS untuk bergabung dalam konflik ini diumumkan setelah serangkaian pembicaraan tingkat tinggi di Washington, dengan tujuan melindungi kepentingan strategisnya di Timur Tengah. Langkah ini memicu kekhawatiran akan potensi gangguan pasokan minyak global, mengingat Iran adalah salah satu produsen minyak besar di OPEC. CNBC melaporkan bahwa harga minyak Brent melonjak lebih dari 3% setelah pengumuman tersebut, mencerminkan ketidakpastian pasar energi yang turut memengaruhi permintaan emas.
Meskipun harga emas Antam domestik tetap stagnan, kenaikan tipis Gold Spot menunjukkan respons pasar global yang lebih sensitif. Data dari Investing.com mencatat bahwa volume perdagangan emas meningkat sebesar 20% dalam 24 jam terakhir, menandakan lonjakan minat investor untuk mencari perlindungan dari volatilitas ekonomi dan geopolitik.
Proyeksi Harga Emas dari Para Analis
Para analis pasar memberikan pandangan optimistis terhadap prospek emas dalam jangka pendek dan menengah. Berdasarkan analisis teknikal dan fundamental, harga emas diperkirakan akan bergerak di kisaran US$3.500 hingga US$3.700 per ons dalam beberapa minggu ke depan. Faktor pendorong utama adalah meningkatnya ketidakstabilan geopolitik dan risiko inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga komoditas seperti minyak.
Goldman Sachs, dalam laporan terbarunya, memproyeksikan bahwa harga emas dapat mencapai US$3.700 per ons pada akhir 2025 dan bahkan menyentuh US$4.000 per ons pada pertengahan 2026. Proyeksi ini didukung oleh ekspektasi bahwa bank sentral di seluruh dunia akan terus meningkatkan cadangan emas mereka sebagai bagian dari strategi diversifikasi aset. Reuters melaporkan bahwa pembelian emas oleh bank sentral pada tahun 2024 mencapai level tertinggi dalam satu dekade, dengan negara-negara seperti China dan India memimpin tren tersebut.
Sementara itu, Akshay Chinchalkar dari Axis Securities menyoroti level teknikal penting. Ia menyatakan bahwa selama harga emas bertahan di atas US$3.314, ada peluang kenaikan hingga US$3.770. Namun, ia juga mencatat adanya resistensi sementara di kisaran US$3.450 hingga US$3.520, yang jika berhasil ditembus, dapat memicu reli lebih lanjut. "Emas tetap menjadi aset pilihan di tengah ketidakpastian global," kata Chinchalkar dalam wawancara dengan Bloomberg.
Faktor Penggerak Harga Emas
Dinamika harga emas saat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci:
Ketegangan Geopolitik: Eskalasi konflik Iran-Israel dan keterlibatan AS meningkatkan risiko gangguan pasokan minyak, yang dapat memicu inflasi global. Menurut The Financial Times, investor kini memantau potensi sanksi lebih lanjut terhadap Iran, yang bisa memperburuk situasi.
Kebijakan Moneter dan Inflasi: Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, baru-baru ini menyatakan bahwa suku bunga AS tidak akan diturunkan dalam waktu dekat, mengingat tekanan inflasi yang terus berlanjut. Hal ini memperkuat daya tarik emas sebagai lindung nilai terhadap penurunan daya beli mata uang fiat.
Permintaan Fisik dan Institusional: World Gold Council melaporkan bahwa permintaan emas fisik dari konsumen di Asia, khususnya India dan China, tetap kuat menjelang musim festival. Di sisi institusional, bank sentral terus menambah cadangan emas untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Sentimen Pasar: Indeks volatilitas (VIX), yang dikenal sebagai "indeks ketakutan" Wall Street, melonjak 15% setelah pengumuman AS. Kenaikan ini biasanya berkorelasi positif dengan harga emas, sebagaimana dicatat oleh MarketWatch.
Dampak pada Pasar Keuangan Lain
Keterlibatan AS dalam konflik ini tidak hanya memengaruhi emas, tetapi juga pasar keuangan lainnya. Pasar saham global mengalami tekanan, dengan indeks S&P 500 turun lebih dari 1,5% dan Dow Jones kehilangan 300 poin dalam satu sesi perdagangan. Di pasar obligasi, imbal hasil Treasury AS tenor 10 tahun melemah, mencerminkan aliran modal ke aset yang lebih aman seperti emas.
Di dunia kripto, respons pasar beragam. Bitcoin bertahan di level US$102.000, menegaskan statusnya sebagai safe-haven digital bagi sebagian investor. Namun, Ethereum anjlok 6,05% ke US$2.277, menunjukkan bahwa volatilitas tetap menjadi risiko besar di pasar kripto, sebagaimana dilaporkan oleh CoinDesk.
Pandangan Jangka Panjang
Para analis dari Kitco News memprediksi bahwa harga emas bisa mencapai US$4.000 per ons dalam skenario eskalasi konflik yang signifikan, terutama jika pasokan minyak terganggu secara masif. Namun, jika diplomasi berhasil menurunkan ketegangan, harga emas mungkin mengalami koreksi sementara ke kisaran US$3.200 hingga US$3.300. Meski begitu, permintaan jangka panjang untuk emas diperkirakan tetap kuat, didukung oleh tren diversifikasi aset global.
Dengan ketidakpastian yang masih membayangi, emas terus menjadi sorotan sebagai aset yang dapat diandalkan di tengah gejolak ekonomi dan geopolitik.