Hasil Pertemuan AS-China: Tarif Dikurangi, Namun Tetap Dijalankan

6/11/20253 min baca

Hasil Pertemuan AS-China: Tarif Dikurangi, Namun Tetap Dijalankan
Hasil Pertemuan AS-China: Tarif Dikurangi, Namun Tetap Dijalankan

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Scott Bessent, menyatakan bahwa pembicaraan tarif antara AS dan China berjalan lancar dan produktif. Kedua negara telah menyepakati rencana awal untuk meredakan perang dagang yang telah berlangsung lama, dengan fokus utama untuk menghidupkan kembali aliran barang-barang penting, khususnya mineral tanah jarang (rare earth) dan magnet yang menjadi tulang punggung industri teknologi dan pertahanan AS. Meskipun ada kemajuan signifikan, tarif yang diberlakukan oleh kedua belah pihak tetap berjalan, meski dalam tingkat yang lebih rendah, menunjukkan bahwa ketegangan perdagangan belum sepenuhnya mereda.

Keputusan Pengadilan Banding Federal AS

Sebuah keputusan penting dari Pengadilan Banding Federal AS, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, menyatakan bahwa Presiden Donald Trump dapat memberlakukan tarif globalnya untuk sementara waktu. Putusan ini memberikan legitimasi hukum bagi pemerintahan Trump untuk melanjutkan kebijakan tarifnya sambil menunggu hasil proses banding yang lebih lanjut. Keputusan ini dipandang sebagai kemenangan strategis bagi Trump, yang telah lama memperjuangkan tarif sebagai alat untuk melindungi kepentingan ekonomi dan keamanan nasional AS. Namun, hal ini juga memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri, terutama yang bergantung pada impor, karena tarif yang berkelanjutan dapat meningkatkan biaya produksi dan mengganggu rantai pasok global.

Penurunan Tarif: Langkah Awal De-eskalasi

Pembicaraan yang berlangsung di Jenewa pada bulan lalu menghasilkan konsensus untuk menurunkan bea masuk secara signifikan. AS mengurangi tarif terhadap China dari 145% menjadi 30%, sementara China membalas dengan menurunkan tarifnya dari 125% menjadi 10%. Penurunan ini memberikan sedikit kelegaan bagi kedua ekonomi terbesar di dunia tersebut, meskipun perdagangan bilateral masih terganggu oleh tarif yang tersisa. Menurut laporan ANTARA News, pembicaraan tingkat tinggi di London pada Juni 2025 juga dianggap "produktif" dan "mendalam", dengan fokus pada penyelesaian sengketa terkait pembatasan ekspor mineral tanah jarang.

Kedua negara saat ini berada dalam masa penangguhan 90 hari yang disepakati pada April 2025. Masa penangguhan ini memberikan waktu hingga 10 Agustus 2025 bagi AS dan China untuk mencapai kesepakatan yang lebih permanen. Jika tidak ada resolusi yang tercapai, tarif akan kembali melonjak ke tingkat sebelumnya—145% untuk AS dan 125% untuk China—yang berpotensi memicu gelombang baru ketidakstabilan ekonomi global.

Kerangka Kerja dan Komitmen Bilateral

Negosiator dari AS dan China telah menyepakati kerangka kerja untuk mengimplementasikan konsensus yang dibahas di Jenewa. Kepala Negosiator Perdagangan China, Li Chenggang, menyatakan bahwa delegasi kedua negara akan membawa proposal ini kepada pemimpin masing-masing untuk mendapatkan persetujuan resmi. Sementara itu, Scott Bessent, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, menyebut pertemuan di Swiss sebagai "langkah konstruktif" untuk merestrukturisasi hubungan dagang bilateral. Bessent juga menegaskan bahwa AS akan terus memantau itikad baik China dalam menjalankan kesepakatan ini.

Laporan dari IDNFinancials menunjukkan bahwa pasar keuangan global mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah pembicaraan ini, dengan indeks saham di Asia dan Eropa mengalami kenaikan moderat. Namun, para analis, seperti yang dikutip dari BBC, memperingatkan bahwa tarif yang masih berlaku tetap "mengganggu arus perdagangan internasional" dan dapat menghambat pemulihan ekonomi penuh.

Mineral Tanah Jarang: Inti dari Negosiasi

Salah satu isu sentral dalam negosiasi ini adalah ekspor mineral tanah jarang dari China, yang merupakan bahan baku penting untuk pembuatan magnet, baterai, dan teknologi militer. China, yang menguasai lebih dari 80% pasokan global mineral ini, telah menggunakan pembatasan ekspor sebagai senjata dalam perang dagang, sebuah langkah yang mengancam operasional produsen dan kontraktor pertahanan di AS. Pembatasan ini memicu kekhawatiran di Washington, mengingat mineral tanah jarang sangat krusial untuk industri strategis seperti kendaraan listrik, turbin angin, dan sistem persenjataan canggih.

Sebagai bagian dari kesepakatan awal, China dikabarkan bersedia melonggarkan pembatasan ekspor mineral ini, meskipun rinciannya belum diumumkan secara resmi. Di sisi lain, AS membalas dengan menerapkan pembatasan ekspor teknologi sensitif ke China, termasuk perangkat lunak untuk produksi semikonduktor, gas industri, serta komponen nuklir dan kedirgantaraan. Presiden Trump bahkan mengusulkan larangan pendaftaran mahasiswa China di universitas-universitas AS, sebuah ide yang menuai kritik keras karena dianggap diskriminatif dan dapat merusak hubungan akademik bilateral.

Reaksi Pasar dan Dampak Ekonomi

Pasar saham global menunjukkan respons positif terhadap kemajuan negosiasi ini. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) tetap stabil, sementara Nasdaq Composite dan S&P 500 menguat, didorong oleh optimisme di sektor teknologi. Saham perusahaan semikonduktor seperti Qualcomm, AMD, dan Nvidia melonjak, mencerminkan harapan akan pasokan mineral tanah jarang yang lebih stabil untuk produksi chip. Namun, saham Apple justru turun 1,5% setelah peluncuran iOS terbaru di WWDC 2025, yang dinilai kurang inovatif oleh investor.

Meski ada tanda-tanda optimisme, para ekonom memperingatkan bahwa tarif yang tersisa masih dapat mengganggu rantai pasok global. Andrew Wilson dari Kamar Dagang Internasional, dalam wawancara dengan BBC, menegaskan bahwa meskipun penurunan tarif adalah langkah maju, tingkat tarif di atas 20% tetap "sangat mengganggu" bagi perdagangan internasional. Investor kini menantikan rilis data inflasi seperti Consumer Price Index (CPI) dan Producer Price Index (PPI) minggu ini untuk mengukur dampak tarif terhadap harga dan tekanan inflasi di AS.

Tantangan dan Prospek ke Depan

Meskipun ada kemajuan, tantangan besar masih menanti. AS dan China harus mencapai kesepakatan komprehensif sebelum 10 Agustus 2025, atau menghadapi kenaikan tarif yang dapat memicu resesi global. Isu-isu seperti hak kekayaan intelektual, subsidi industri, dan akses pasar juga tetap menjadi ganjalan yang belum terselesaikan.

Di dalam negeri, keputusan Pengadilan Banding Federal memberikan ruang bagi Trump untuk melanjutkan kebijakan tarifnya, tetapi juga membuka peluang untuk tantangan hukum lebih lanjut. Para analis hukum memperkirakan bahwa kasus ini dapat berlanjut ke Mahkamah Agung AS, yang saat ini didominasi oleh hakim konservatif yang cenderung mendukung kewenangan eksekutif dalam urusan perdagangan.