Indonesia Bakal Miliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pertama pada 2030: Ambisi dan Tantangan

4/29/20253 min baca

pltn
pltn

Jakarta – Indonesia bersiap melangkah ke era energi nuklir dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama pada tahun 2030. Pengumuman ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam sidang Dewan Energi Nasional (DEN) pada Senin, 21 April 2025. Rencana tersebut telah tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025-2030, yang saat ini tengah difinalisasi dan akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Untuk PLTN, kita mulai on itu pada 2030 atau 2032. Jadi mau tidak mau kita harus mempersiapkan semua regulasi terkait PLTN,” ujar Bahlil dalam pernyataan resminya. Ia menegaskan bahwa PLTN dipilih sebagai solusi energi baru yang murah, andal, dan mampu memperkuat sistem kelistrikan nasional. Lebih jauh, penggunaan tenaga nuklir diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara, yang hingga kini masih mendominasi sektor energi.

Lokasi dan Teknologi yang Digunakan

Berdasarkan informasi dari Bahlil, dua wilayah yang menjadi kandidat lokasi pembangunan PLTN adalah Bangka Belitung dan Kalimantan. Kepastian lokasi dan pengembangan lebih lanjut akan bergantung pada RUPTL 2025-2034 yang masih dalam tahap penyusunan. Untuk mewujudkan proyek ini, Indonesia berencana menggandeng teknologi dari negara-negara maju. Kerja sama dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat disebut-sebut akan memanfaatkan teknologi Small Modular Reactor (SMR), yang dikenal lebih aman dan fleksibel untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia. Selain itu, Rusia juga masuk dalam daftar mitra potensial, mengingat pengalaman panjang negara tersebut dalam pembangunan PLTN.

Sumber dari tempo.co menyebutkan bahwa teknologi SMR memiliki kapasitas lebih kecil dibandingkan PLTN konvensional, namun lebih mudah diadaptasi dan memiliki risiko yang lebih rendah. Sementara itu, kerja sama dengan Rusia, seperti dilansir cnbcindonesia.com, dapat membawa keunggulan dalam hal biaya dan pengalaman operasional.

Tantangan Waktu dan Risiko Teknis

Meski ambisi ini terdengar menjanjikan, para pakar teknologi nuklir memperingatkan adanya tantangan besar terkait waktu. Dari rencana hingga finalisasi, Indonesia hanya memiliki waktu sekitar lima tahun, sedangkan proses pembangunan PLTN—mulai dari persiapan tapak hingga pengoperasian reaktor pertama—biasanya memakan waktu minimal delapan tahun. “Mempercepat pembangunan PLTN dalam waktu lima tahun sangat tidak realistis dan bisa menimbulkan risiko serius,” ungkap seorang ahli nuklir dari Universitas Indonesia.

Risiko teknis lainnya meliputi kesiapan infrastruktur, regulasi yang belum matang, serta minimnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang nuklir. Jika tidak dikelola dengan baik, proyek ini berpotensi mengalami keterlambatan, pembengkakan biaya, bahkan korupsi.

Dampak Lingkungan dan Kekhawatiran Publik

Pembangunan PLTN juga memunculkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan. Menurut artikel di kompas.com, PLTN menghasilkan limbah radioaktif yang berbahaya dan memerlukan pengelolaan ketat agar tidak mencemari lingkungan. Di sisi lain, Indonesia yang berada di kawasan Ring of Fire—wilayah rawan gempa bumi dan tsunami—menambah kompleksitas dalam memastikan keamanan reaktor. “Risiko kecelakaan nuklir dan bencana alam tidak boleh diabaikan. Kita harus belajar dari kasus Fukushima,” kata seorang aktivis dari WALHI.

Selain itu, ketergantungan pada teknologi asing juga menjadi sorotan. Para pakar menyarankan agar Indonesia membangun kapasitas lokal untuk mengelola PLTN secara mandiri di masa depan.

Langkah Persiapan dan Sosialisasi

Bahlil menegaskan bahwa regulasi menjadi fokus utama dalam tahap awal. “Kita harus memastikan semua aturan terkait PLTN sudah siap sebelum proyek dimulai,” katanya. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat juga akan dilakukan untuk menjelaskan manfaat dan risiko tenaga nuklir. Pemerintah diharapkan melibatkan komunitas lokal, akademisi, dan ahli independen guna membangun kepercayaan publik serta meminimalkan resistensi.

Visi Energi Bersih

Rencana ini sejalan dengan target Indonesia mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060. PLTN dianggap mampu mengurangi emisi karbon secara signifikan dibandingkan pembangkit fosil. Namun, para pakar menekankan bahwa pemerintah juga harus terus mengembangkan energi terbarukan seperti surya, angin, dan geotermal untuk menciptakan bauran energi yang lebih seimbang.

Dengan segala potensi dan tantangannya, pembangunan PLTN pertama pada 2030 menjadi langkah ambisius yang membutuhkan perencanaan matang, transparansi, dan komitmen kuat dari semua pihak. Keberhasilan proyek ini akan menentukan masa depan energi Indonesia di tengah transisi menuju sumber daya yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Image Source: Bloomberg