Inflasi AS Berpotensi Melonjak Usai Iran Tutup Rute Minyak

6/23/20253 min baca

group of people gather in clothes stores
group of people gather in clothes stores

Jakarta, 23 Juni 2025 – Inflasi di Amerika Serikat (AS) kembali menghadapi ancaman serius menyusul eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang kini melibatkan AS secara langsung. Ketegangan geopolitik ini mencapai puncaknya setelah AS mengebom tiga situs nuklir Iran, memicu respons keras dari Teheran. Iran kemudian menutup Selat Hormuz, jalur strategis yang mengangkut seperlima pasokan minyak mentah dunia, menyebabkan gejolak di pasar global dan meningkatkan risiko inflasi di AS. Situasi ini diperparah oleh perang dagang yang terus berlangsung di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, yang telah menambah tekanan ekonomi domestik.

Selat Hormuz: Titik Kritis Pasokan Minyak Dunia

Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman, adalah arteri utama bagi ekspor minyak dari negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Irak, dan Uni Emirat Arab. Berdasarkan laporan Al Jazeera, sekitar 21 juta barel minyak per hari—atau 20% dari total pasokan global—melewati selat ini. Penutupan selat oleh Iran, yang dilakukan sebagai balasan atas agresi militer AS, telah memicu kekhawatiran akan krisis pasokan minyak yang dapat mengguncang ekonomi dunia.

Pasar komoditas langsung bereaksi. Harga minyak mentah Brent melonjak 5,7% menjadi US$81,40 per barel pada hari Senin (23/06), menurut Bloomberg. Analis dari JPMorgan memperingatkan bahwa jika penutupan ini berlangsung lama, harga minyak bisa mencapai US$130 per barel, mendorong inflasi AS hingga 5%. Lonjakan harga ini bukanlah hal baru; pada Maret 2023, gangguan pasokan minyak akibat konflik serupa memaksa The Fed menaikkan suku bunga secara agresif untuk mengendalikan inflasi. Sejarah juga mencatat bahwa krisis minyak 2010 menyebabkan pelemahan konsumsi, investasi, dan nilai tukar dolar AS akibat kenaikan harga yang berkepanjangan.

Kebijakan The Fed: Antara Suku Bunga dan Inflasi

Di tengah ancaman inflasi yang membayangi, Presiden Donald Trump terus mendesak The Fed untuk memangkas suku bunga guna merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, Ketua The Fed, Jerome Powell, bersikukuh mempertahankan suku bunga pada level tinggi sejak Desember 2024. Dalam pernyataan resminya kepada CNBC, Powell menegaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga stabilitas harga di tengah ketidakpastian global, termasuk risiko dari lonjakan harga minyak dan dampak perang dagang.

Analisis dari The New York Times menunjukkan bahwa suku bunga tinggi memang dapat menekan inflasi, tetapi juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi. Jika harga minyak terus naik akibat penutupan Selat Hormuz, The Fed mungkin terpaksa menaikkan suku bunga lebih lanjut, sebuah langkah yang dapat memperburuk tekanan pada sektor riil dan pasar keuangan AS.

Perang Dagang: Tekanan Tambahan pada Ekonomi AS

Selain konflik geopolitik, perang dagang AS dengan mitra dagang utama seperti China dan Uni Eropa turut memperumit situasi. Tarif tinggi yang diberlakukan pada barang impor telah meningkatkan harga konsumen di AS, dan gangguan pasokan minyak akibat penutupan Selat Hormuz dapat memperparah inflasi impor. The Guardian melaporkan bahwa kenaikan harga minyak global akibat konflik ini berpotensi memicu inflasi di seluruh dunia, yang akan memaksa bank sentral, termasuk The Fed, untuk menyesuaikan kebijakan moneter mereka.

Ketidakpastian ini juga terlihat di pasar keuangan. Indeks S&P 500, meskipun sempat anjlok selama dua minggu terakhir, kini berada hanya 3% di bawah level tertingginya sejak Februari, menurut Bloomberg. Sementara itu, dolar AS menguat 1% karena investor beralih ke aset safe-haven di tengah gejolak global.

Dampak Jangka Panjang dan Skenario Masa Depan

Jika penutupan Selat Hormuz berlangsung lama, dampaknya bisa meluas ke seluruh rantai pasok global. Al Jazeera memperingatkan bahwa krisis ini berpotensi memicu resesi ekonomi dunia, dengan inflasi yang melonjak dan pertumbuhan yang terhambat. JPMorgan memperkirakan bahwa inflasi AS bisa mencapai 5% jika harga minyak mencapai US$130 per barel, sebuah skenario yang akan memaksa The Fed mengambil tindakan moneter yang lebih tegas.

Namun, ada pula pandangan optimis. Menurut Investopedia, jika konflik mereda dan pasokan minyak kembali normal, harga dapat stabil dalam waktu singkat. Sayangnya, dengan Iran yang tetap mempertahankan sikap keras dan menolak negosiasi dengan AS, prospek penyelesaian damai tampaknya masih jauh di depan mata.

Kesimpulan

Penutupan Selat Hormuz oleh Iran di tengah konflik dengan AS dan Israel telah menciptakan ancaman serius bagi stabilitas ekonomi global, khususnya di AS. Lonjakan harga minyak, tekanan dari perang dagang, dan kebijakan suku bunga The Fed yang ketat menempatkan AS pada posisi yang rentan. Koordinasi yang kuat antara pemerintah, bank sentral, dan sektor swasta menjadi krusial untuk mencegah krisis ekonomi yang lebih dalam di tengah ketidakpastian yang terus berlangsung.