Inflasi AS Melonjak Usai Tarif Trump Berlaku di Sejumlah Negara
Washington, D.C., 11 September 2025 – Inflasi di Amerika Serikat (AS) kembali melonjak pada bulan Agustus 2025, dengan Consumer Price Index (CPI) mencapai 2,9%, naik dari 2,7% pada bulan Juli. Kenaikan ini dipicu oleh pemberlakuan tarif perdagangan baru oleh Presiden Donald Trump terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia, yang mulai berlaku pada awal Agustus. Dampaknya terlihat pada pasar aset kripto, di mana Bitcoin (BTC) tetap stagnan di level US$113.000, sementara Ethereum (ETH) naik ke US$4.300 pada Kamis (11/09) malam waktu Indonesia.
Data CPI core, yang tidak termasuk harga makanan dan energi yang volatil, juga naik menjadi 3,1%, menandakan tekanan inflasi yang lebih luas. Kenaikan ini semakin menjauh dari target The Fed sebesar 2%, meskipun masih lebih rendah dibandingkan puncak inflasi pada Februari 2025 yang mencapai 3,2%. Dampak tarif Trump terhadap inflasi terlihat lebih jelas pada Agustus dibandingkan Juli, di mana kenaikan biaya impor mulai terasa pada harga barang konsumsi.
Menurut laporan dari Bureau of Labor Statistics (BLS), kenaikan CPI bulanan sebesar 0,2% pada Agustus didorong oleh naiknya harga energi dan barang impor akibat tarif. Sementara itu, CPI tahunan naik 2,9%, yang menurut Reuters lebih tinggi dari perkiraan analis sebesar 2,8%. Kenaikan ini memperburuk kekhawatiran pasar bahwa inflasi akan terus meningkat, terutama dengan tarif yang diberlakukan terhadap negara seperti Indonesia (32%), Jepang (25%), dan Korea Selatan (25%).
Proyeksi dan Dampak Ekonomi
Ekonom dari JPMorgan memproyeksikan bahwa inflasi utama AS akan naik menjadi 2,9% pada akhir tahun, sementara core CPI secara tahun-ke-tahun akan naik menjadi 3,3% hingga Desember. "Tarif Trump telah menambah tekanan pada rantai pasok global, yang pada akhirnya meningkatkan biaya bagi konsumen AS," ujar analis JPMorgan Michael Feroli dalam laporan terbaru mereka. Feroli menambahkan bahwa jika tarif diperluas, inflasi bisa mencapai 3,5% pada 2026, memaksa The Fed untuk menunda pemangkasan suku bunga lebih lanjut.
Di sisi lain, Goldman Sachs memperkirakan dampak tarif terhadap harga kemungkinan hanya bersifat sementara, tetapi cukup untuk menjaga inflasi di atas target The Fed. "Kami masih yakin The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin pada September, meskipun data inflasi terbaru memberikan ruang untuk pertimbangan ulang," tulis ekonom Goldman Sachs dalam analisis mereka.
Pasar masih sangat yakin bahwa suku bunga acuan akan dipangkas 25 basis poin menjadi 4-4,25%, dengan sebagian kecil optimis pemangkasannya bisa 50 basis poin ke 3,75-4%. Menurut CME FedWatch, peluang pemangkasan suku bunga pada September mencapai 96%, naik dari 93% sebelum data inflasi dirilis. Hal ini menyusul pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell, yang mengatakan bahwa suku bunga mungkin akan dipangkas bulan ini jika data mendukung.
Respons Pasar Kripto dan Global
Data inflasi ini juga memengaruhi pasar aset kripto. Bitcoin tetap stagnan di US$113.000, sementara Ethereum naik ke US$4.300, menurut CoinMarketCap. Kenaikan Ethereum dipicu oleh optimisme pemangkasan suku bunga The Fed, yang diharapkan mendorong likuiditas ke aset berisiko seperti kripto. Analis Ted Pillow dalam unggahan X-nya memprediksi Bitcoin bisa mencapai US$125.000 hingga US$130.000 pada kuartal ini jika pemangkasan suku bunga terealisasi.
Di pasar saham, S&P 500 naik tipis 0,1% pasca-pengumuman, menurut Bloomberg, didorong oleh harapan pemangkasan suku bunga yang bisa mendorong pertumbuhan. Namun, kenaikan inflasi membuat investor waspada terhadap risiko stagflasi. Di Indonesia, rupiah melemah ke Rp16.278 per dolar AS, sementara IHSG turun 0,12% ke Rp6.892, mencerminkan sentimen negatif dari kenaikan inflasi AS yang bisa memperkuat dolar.
Tantangan Ekonomi AS dan Global
Kenaikan inflasi AS ini tidak lepas dari dampak kebijakan tarif Trump yang mulai terasa pada Agustus. Tarif terhadap negara mitra dagang seperti Indonesia (32%) telah meningkatkan biaya impor, yang pada gilirannya mendorong harga barang konsumen naik. Ekonom dari JPMorgan memperkirakan bahwa tarif ini bisa menambah 0,2-0,3% ke inflasi tahunan AS jika diperluas. Selain itu, ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga berkontribusi terhadap kenaikan harga energi, yang menjadi salah satu komponen utama CPI.
Secara global, kenaikan inflasi AS dapat memengaruhi kebijakan moneter bank sentral lain. Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas rupiah, meskipun inflasi domestik terkendali di 2,37% pada Juli. "Kami akan terus memantau dampak inflasi AS terhadap ekonomi Indonesia," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Kesimpulan
Kenaikan inflasi AS pada Agustus menjadi sinyal bagi The Fed untuk tetap waspada dalam kebijakan moneter mereka. Meskipun pasar yakin pemangkasan suku bunga akan terjadi, kenaikan inflasi yang lebih tinggi dari prediksi bisa menunda rencana tersebut. Dampaknya terhadap pasar aset kripto menunjukkan ketahanan Bitcoin dan Ethereum di tengah ketidakpastian, sementara pasar saham dan mata uang global terus memantau perkembangan ini dengan cermat. Dengan proyeksi inflasi yang terus naik, dunia keuangan global berada di persimpangan penting yang akan menentukan arah ekonomi di kuartal mendatang.