Jerome Powell Tunda Pemotongan Suku Bunga: Alasan dan Dampaknya terhadap Ekonomi AS

6/26/20253 min baca

Jerome Powell the fed
Jerome Powell the fed

Jakarta, 26 Juni 2025 – Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, menegaskan bahwa bank sentral AS tidak akan memotong suku bunga dalam waktu dekat, meskipun ada desakan langsung dari Presiden Donald Trump untuk melakukannya. Keputusan ini memicu perdebatan sengit di kalangan politisi dan ekonom, terutama setelah Wakil Presiden AS, JD Vance, mempertanyakan alasan The Fed menunda pemotongan suku bunga. "Saya ingin sekali mendengar argumen mengapa Powell memangkas suku bunga 50 poin tepat sebelum pemilihan umum, tetapi tidak dapat melakukannya sekarang karena inflasi lebih rendah," ujar Vance dalam sebuah wawancara.

Namun, Powell bersikukuh bahwa kebijakan moneter harus didasarkan pada data ekonomi yang obyektif, bukan tekanan politik. Dalam konferensi pers pasca-pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Juni 2025, Powell menjelaskan beberapa alasan utama di balik keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25% hingga 4,50%.

Alasan Powell Menunda Pemotongan Suku Bunga

1. Dampak Tarif Impor yang Diberlakukan Trump

Salah satu alasan utama yang disampaikan Powell adalah kekhawatiran terhadap dampak tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump sejak Februari 2025. Tarif ini, yang menargetkan barang-barang dari China dan beberapa mitra dagang lainnya, berpotensi menaikkan harga barang di AS dan memicu inflasi. Powell menegaskan bahwa The Fed tidak ingin mengambil risiko dengan memotong suku bunga terlalu dini, yang dapat memperburuk tekanan inflasi. "Kami khawatir tarif ini akan menaikkan harga barang dan memicu inflasi kembali," kata Powell.

Menurut laporan dari Bloomberg, tarif yang diberlakukan sejak Maret 2025 belum sepenuhnya berdampak pada inflasi, tetapi efeknya kemungkinan akan terlihat dalam beberapa bulan ke depan. Proses kenaikan harga akibat tarif bersifat lambat dan kompleks, sehingga The Fed memilih untuk menunggu data yang lebih jelas sebelum bertindak. "Kebijakan moneter harus melihat ke depan, bukan hanya kondisi saat ini," tambah Powell.

2. Pasar Tenaga Kerja yang Masih Solid

Alasan kedua adalah kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat. Tingkat pengangguran tetap rendah di 4,2%, menandakan bahwa ekonomi AS masih dalam kondisi solid. Menurut data dari U.S. Bureau of Labor Statistics, lapangan kerja di sektor perawatan kesehatan, rekreasi, dan bantuan sosial terus tumbuh, meskipun ada penurunan di sektor pemerintahan federal. "Tanpa tanda pelemahan yang signifikan di pasar kerja, kami merasa tidak perlu untuk segera memangkas suku bunga," jelas Powell.

Para ekonom dari Goldman Sachs mendukung pandangan ini, dengan menyatakan bahwa pasar tenaga kerja yang resilien memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga lebih lama guna memastikan inflasi tidak melonjak kembali.

3. Inflasi yang Terkendali, Namun Berpotensi Naik

Meskipun inflasi tahunan AS berada di 2,6% pada Mei 2025, di bawah target The Fed sebesar 2%, Powell memperingatkan bahwa tekanan inflasi dapat muncul dari kenaikan harga minyak dan gangguan rantai pasok akibat konflik geopolitik, seperti yang terjadi di Timur Tengah. "Kami ingin menunggu kepastian lebih lanjut sebelum mengambil langkah besar," tegas Powell.

Laporan dari The Wall Street Journal mencatat bahwa meskipun inflasi inti tampak terkendali, kenaikan harga energi dan barang impor akibat tarif dapat mendorong inflasi di atas target dalam jangka pendek, yang akan memaksa The Fed untuk menunda pemotongan suku bunga.

Dampak Keputusan The Fed terhadap Ekonomi AS

Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga memiliki dampak yang beragam terhadap ekonomi AS:

  • Pasar Keuangan: Pasar saham AS, khususnya indeks S&P 500, mengalami penurunan sebesar 0,5% pasca-pengumuman, mencerminkan kekecewaan investor yang mengharapkan stimulus moneter. Namun, obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun mengalami kenaikan imbal hasil, menandakan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.

  • Dolar AS: Mata uang dolar AS menguat terhadap mata uang utama lainnya, didukung oleh suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju lainnya. Menurut Reuters, indeks dolar naik 0,3% dalam 24 jam terakhir.

  • Sektor Riil: Suku bunga yang lebih tinggi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan biaya pinjaman bagi bisnis dan konsumen. Analis dari Morgan Stanley memperingatkan bahwa jika The Fed terlalu lama mempertahankan suku bunga tinggi, risiko resesi pada 2026 akan meningkat.

Konteks Global dan Reaksi Pasar

Di tengah ketegangan geopolitik yang mereda pasca gencatan senjata di Timur Tengah, pasar global menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, keputusan The Fed untuk tidak memotong suku bunga menimbulkan kekhawatiran baru. Pasar saham Asia, termasuk IHSG Indonesia, mengalami volatilitas, sementara mata uang negara berkembang seperti rupiah cenderung melemah terhadap dolar AS.

Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan merespons dengan mempertahankan suku bunga acuan untuk mencegah capital outflow dan menjaga stabilitas rupiah. "Kami akan terus memantau dampak dari kebijakan The Fed terhadap ekonomi domestik," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo.

Penutup

Keputusan Jerome Powell untuk menunda pemotongan suku bunga mencerminkan pendekatan hati-hati The Fed dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan domestik. Dengan inflasi yang berpotensi naik akibat tarif dan pasar tenaga kerja yang masih kuat, The Fed memilih untuk tidak terburu-buru mengubah kebijakan moneternya. Namun, keputusan ini juga menimbulkan tantangan bagi pertumbuhan ekonomi AS di masa depan, yang akan terus dipantau oleh pelaku pasar dan pembuat kebijakan.