Jusuf Kalla Sindir Tarif Trump: Rakyat Amerika Sendiri yang Menanggung Akibatnya


Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK), melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Dalam kuliah umum di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Sabtu, 24 Mei 2025, JK menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah emosional yang tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomi yang matang. Ia mengibaratkan kebijakan itu seperti "menembak kaki sendiri," yang pada akhirnya justru merugikan rakyat Amerika.
Menurut JK, penerapan tarif tinggi pada barang impor, khususnya dari China, tidak akan membebani negara pengekspor, melainkan konsumen AS sendiri. "Dunia dikasih tarif. Kalau Anda belajar ekonomi, Trump ini membikin keputusan yang dia tidak mengerti. Dia marah sama China, dia marah sama dunia karena defisit ekonomi, kalah ekonomi Amerika," ujar JK, seperti dilansir CNN Indonesia. Ia menegaskan bahwa barang impor yang dikenai tarif akan menjadi lebih mahal, dan beban itu akhirnya ditanggung oleh masyarakat AS, bukan negara seperti China atau mitra dagang lainnya.
Latar Belakang Kebijakan Tarif Trump
Kebijakan tarif impor Trump bukanlah hal baru. Sejak awal masa kepemimpinannya pada 2025, Trump kembali mengusung pendekatan proteksionisme dengan mengenakan tarif pada berbagai komoditas, seperti baja, aluminium, dan produk teknologi dari China serta Uni Eropa (UE). Tujuannya, menurut pernyataan resmi Gedung Putih, adalah untuk melindungi industri dalam negeri dan mengurangi defisit perdagangan AS. Namun, langkah ini memicu perang dagang global yang kini telah memengaruhi stabilitas ekonomi dunia.
Data dari U.S. Census Bureau menunjukkan bahwa defisit perdagangan AS dengan China mencapai $350 miliar pada 2024, dan Trump berjanji untuk memangkas angka tersebut. Namun, kebijakan tarif ini justru menuai kritik karena dianggap kontraproduktif. Alih-alih memperkuat ekonomi domestik, tarif malah meningkatkan biaya produksi dan harga barang konsumsi di AS.
Dampak Ekonomi di Amerika Serikat
Efek dari kebijakan tarif Trump terasa nyata di AS. Berdasarkan laporan Biro Statistik Tenaga Kerja AS, inflasi melonjak 3,2% pada kuartal pertama 2025, yang sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga barang impor. Misalnya, harga elektronik dan kendaraan yang bergantung pada komponen dari China meningkat tajam, membebani daya beli konsumen. The Wall Street Journal melaporkan bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur AS, seperti Ford dan General Motors, mengalami kenaikan biaya produksi hingga 15% akibat tarif pada baja dan aluminium.
Selain itu, survei dari National Association of Manufacturers menunjukkan bahwa 60% perusahaan manufaktur melaporkan penurunan laba pada 2025. Petani AS juga terkena dampak, terutama setelah China memberlakukan tarif balasan pada kedelai dan produk pertanian lainnya, yang menyebabkan kerugian miliaran dolar di sektor agrikultur.
Respons Global dan Perang Dagang
Kebijakan Trump tidak dibiarkan begitu saja oleh mitra dagang AS. China, sebagai salah satu target utama, membalas dengan tarif pada barang-barang AS senilai $60 miliar, termasuk mobil dan bahan kimia. Uni Eropa juga tidak tinggal diam, memberlakukan tarif pada bourbon, sepeda motor Harley-Davidson, dan jeans Levi’s sebagai bentuk protes. Menurut Reuters, langkah ini telah memicu ketegangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), di mana UE dan China sedang mempersiapkan gugatan hukum terhadap AS.
Di Asia Tenggara, Indonesia mengambil pendekatan hati-hati. JK menegaskan bahwa dampak langsung pada Indonesia relatif kecil karena ekspor ke AS hanya menyumbang 2% dari PDB. Namun, ia memperingatkan bahwa perang dagang global dapat menciptakan efek domino, seperti ketidakstabilan pasar keuangan dan perlambatan perdagangan internasional, yang berpotensi memengaruhi Indonesia secara tidak langsung.
Pandangan Para Ahli
Banyak ekonom ternama yang sependapat dengan JK. Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi, menulis di The New York Times bahwa "tarif adalah pajak yang dibayar oleh konsumen domestik, bukan eksportir asing." Ia menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya gagal mengurangi defisit perdagang AS, tetapi juga melemahkan daya saing produk Amerika di pasar global. Ekonom lain, seperti Joseph Stiglitz, menyebut pendekatan Trump sebagai "kebijakan abad ke-19 di era abad ke-21," yang tidak relevan dengan dinamika ekonomi modern.
Di sisi lain, beberapa pendukung Trump, seperti ekonom konservatif Stephen Moore, berargumen bahwa tarif diperlukan untuk melindungi pekerja AS dari persaingan tidak sehat dengan negara-negara berkembang. Namun, argumen ini dibantah oleh data yang menunjukkan bahwa lapangan kerja di sektor manufaktur AS justru stagnan sejak tarif diterapkan.
Langkah Indonesia dan Harapan JK
Meskipun dampak langsung pada Indonesia terbatas, pemerintah RI tidak berdiam diri. Menteri Perdagangan telah mempercepat perundingan perdagangan bebas dengan UE dan negara-negara ASEAN untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. JK sendiri berharap kebijakan tarif Trump hanya bersifat sementara. "Ini mungkin taktik untuk menekan negara lain, bukan strategi jangka panjang," katanya. Ia menekankan pentingnya kerja sama global untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia di tengah ketidakpastian ini.
Image Source: Bonepos