Kedaulatan Digital vs. Perdagangan Global: Dilema QRIS dan GPN dalam Hubungan AS-Indonesia
Di tengah era di mana transaksi digital menjadi nadi perekonomian global, sebuah medan pertempuran baru muncul dalam negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. AS, melalui laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, menyoroti Quick Response Indonesia Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai penghalang bagi perusahaan asing untuk masuk ke pasar Indonesia. Dalam negosiasi tarif yang melibatkan Presiden AS Donald Trump, isu ini menjadi salah satu titik panas yang mencerminkan ketegangan antara kedaulatan digital dan dorongan pasar bebas global.
Inovasi Lokal Indonesia
QRIS dan GPN adalah jawaban Indonesia untuk memperkuat ekosistem keuangan domestik di era digital. QRIS, sistem kode QR terstandarisasi, memungkinkan transaksi lintas platform pembayaran dilakukan dengan mulus—dari pedagang kaki lima hingga mal modern. Sementara itu, GPN adalah gerbang pembayaran nasional yang mengintegrasikan transaksi domestik, mengurangi ketergantungan pada jaringan pembayaran internasional seperti Visa dan Mastercard. Kebijakan ini, yang digagas oleh Bank Indonesia (BI), bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun, ada sisi lain dari koin ini. BI memberlakukan batas kepemilikan asing maksimal 20% untuk perusahaan pembayaran luar negeri. Langkah ini dipandang sebagai benteng proteksi untuk melindungi industri dalam negeri, tetapi juga menjadi duri dalam daging bagi AS yang melihatnya sebagai hambatan bagi ekspansi perusahaan-perusahaan Amerika.
Kompetisi Terhambat?
AS menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan Indonesia membatasi ruang gerak raksasa pembayaran global seperti Visa dan Mastercard. Dalam laporannya, AS menegaskan bahwa pembatasan ini tidak hanya mengurangi peluang bisnis bagi perusahaan asing, tetapi juga menghambat inovasi dan kompetisi yang pada akhirnya merugikan konsumen Indonesia. Dalam pandangan AS, QRIS yang terintegrasi dengan GPN menciptakan ekosistem tertutup yang sulit ditembus oleh pemain internasional, sehingga mengganggu hubungan perdagangan bilateral yang lebih erat.
Namun, apakah ini benar-benar tentang keadilan pasar, ataukah sekadar upaya AS untuk mempertahankan dominasi ekonominya di panggung global? Pertanyaan ini menggantung, terutama ketika kita melihat dinamika kekuatan ekonomi di balik layar.
Visa dan Mastercard Tetap Berjaya, Tapi...
Meskipun QRIS dan GPN mendapat sorotan, data dari Statista menunjukkan bahwa pemain global seperti Visa dan Mastercard masih mendominasi lanskap pembayaran internasional—meski dengan catatan menarik. Pangsa pasar global Visa turun dari 57,7% pada 2014 menjadi 38,7% pada 2022, sementara Mastercard menyusut dari 26,3% menjadi 24% dalam periode yang sama. Penurunan ini menandakan pergeseran bertahap menuju sistem lokal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, dominasi mereka belum benar-benar runtuh: pada 2023, Visa mencatat volume transaksi sebesar US$76,12 miliar, sementara Mastercard mencapai US$72,6 miliar. Angka-angka ini menegaskan bahwa meskipun kehilangan pangsa pasar, keduanya tetap menjadi raksasa yang sulit digoyahkan.
Di sisi lain, keberhasilan QRIS dan GPN menunjukkan bahwa sistem lokal dapat berkembang dan bersaing, terutama di pasar domestik yang besar seperti Indonesia. Ini adalah cerita klasik David melawan Goliat—tapi dengan twist modern yang melibatkan teknologi dan geopolitik.
Kedaulatan Digital vs. Pasar Terbuka
Konflik ini lebih dari sekadar soal angka atau regulasi; ini adalah pertarungan ideologi. Indonesia berupaya membangun kedaulatan digital dengan mengendalikan infrastruktur pembayarannya, sebuah langkah yang wajar bagi negara berkembang yang ingin mengurangi ketergantungan pada kekuatan asing. Namun, AS memandangnya sebagai proteksionisme yang bertentangan dengan semangat perdagangan bebas yang selama ini mereka junjung tinggi—meskipun ironisnya, AS sendiri kerap menerapkan kebijakan protektif ketika kepentingan nasionalnya terancam.
Bagi Indonesia, tantangannya adalah menemukan keseimbangan: bagaimana mempertahankan inovasi lokal tanpa menutup pintu bagi kompetisi global yang bisa mempercepat kemajuan teknologi? Bagi AS, pertanyaannya adalah sejauh mana mereka bersedia menghormati hak negara lain untuk menentukan nasib ekonominya sendiri, terutama di era di mana digitalisasi menjadi senjata baru dalam persaingan global.
Akankah Ada Titik Temu?
Saat negosiasi perdagangan berlanjut, nasib QRIS dan GPN tetap menjadi tanda tanya besar. Akankah Indonesia menyerah pada tekanan AS dan membuka pasarnya lebih lebar, atau akan tetap teguh memperjuangkan kedaulatan digitalnya? Apa pun hasilnya, kasus ini bisa menjadi preseden penting bagi negara-negara berkembang lain yang berusaha menavigasi persimpangan rumit antara teknologi, keuangan, dan perdagangan global. Satu hal yang pasti: di dunia yang semakin terhubung, pertempuran ini jauh dari selesai.