Komdigi Gandeng University of Tokyo, Jajaki Pengembangan Kurikulum AI untuk Indonesia
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Indonesia sedang menjalin kerja sama dengan The University of Tokyo, salah satu institusi pendidikan ternama di Jepang, untuk mengembangkan kurikulum Artificial Intelligence (AI) yang dirancang khusus sesuai kebutuhan Indonesia. Diskusi tahap awal ini bertujuan membangun fondasi pendidikan AI yang kokoh di tanah air, dengan fokus utama pada peningkatan pengetahuan (digital knowledge) dan keterampilan digital (digital skill) masyarakat. Inisiatif ini diharapkan mampu mendorong inovasi teknologi berbasis AI untuk menjawab tantangan lokal, seperti efisiensi sektor publik, peningkatan daya saing bisnis, hingga solusi berbasis teknologi untuk permasalahan sehari-hari.
Kolaborasi ini melibatkan Profesor Yutaka Matsuo, pakar AI terkemuka dari The University of Tokyo yang juga penulis buku Artificial Intelligence and the Future of Humanity. Ia menawarkan tidak hanya pengembangan kurikulum, tetapi juga penerapan AI dalam konteks praktis. “Kami sangat antusias untuk berkolaborasi dengan Indonesia. Pendidikan AI yang tepat, seperti yang telah terbukti di Jepang, mampu melahirkan ekosistem inovasi yang kuat, termasuk perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi,” ungkap Matsuo dalam diskusi tersebut. Ia menambahkan bahwa Jepang telah berhasil memanfaatkan AI untuk mendukung berbagai industri, mulai dari manufaktur hingga layanan kesehatan, yang bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia.
Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, menyambut positif tawaran tersebut. “Kerja sama ini sangat menarik, terutama karena Profesor Matsuo menawarkan pendekatan teknis yang fokus pada digital knowledge dan digital skill. Kami ingin kurikulum ini membantu masyarakat Indonesia memahami dan memanfaatkan AI secara efektif,” ujar Nezar. Ia menegaskan bahwa Indonesia perlu mengejar ketertinggalan dalam pengembangan talenta digital, terutama di bidang AI, untuk mendukung transformasi digital nasional.
Nezar juga menyoroti keberhasilan Jepang dalam mengintegrasikan pendidikan AI ke dalam ekosistem bisnisnya. “Di Jepang, pendidikan AI telah melahirkan banyak startup yang inovatif, seperti Preferred Networks yang mengembangkan solusi AI untuk otomotif dan kesehatan. Kami ingin meniru model ini untuk memperkuat solusi bisnis di Indonesia,” katanya. Ia percaya bahwa kurikulum ini tidak hanya akan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, tetapi juga memberi peluang bagi pelaku usaha lokal untuk bersaing di ranah digital global.
Adopsi AI dalam dunia bisnis menjadi salah satu poin penting dalam kerja sama ini. Menurut Nezar, penguasaan AI dapat membantu pelaku usaha menciptakan solusi yang lebih efisien dan kompetitif. “Misalnya, AI bisa digunakan untuk analisis data pasar atau otomatisasi proses bisnis, yang akan sangat bermanfaat bagi UMKM di Indonesia,” tambahnya. Hal ini sejalan dengan agenda pemerintah untuk mempercepat transformasi digital di berbagai sektor, termasuk ekonomi, pendidikan, dan pelayanan publik.
Data dari laporan World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diproyeksikan menjadi salah satu pasar AI terbesar di dunia dalam dekade mendatang. Namun, tantangan utamanya adalah keterbatasan talenta digital. Laporan McKinsey (2022) juga menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan tambahan 9 juta talenta digital hingga 2030 untuk mendukung ekonomi digital yang diperkirakan bernilai Rp4.500 triliun. Kolaborasi dengan The University of Tokyo ini menjadi langkah strategis untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Profesor Matsuo optimistis dengan potensi Indonesia. “Indonesia memiliki populasi muda yang besar dan semangat tinggi terhadap teknologi. Dengan kurikulum yang relevan, saya yakin Indonesia bisa melahirkan generasi inovator AI yang kompetitif di tingkat global,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya pendekatan yang berbasis kebutuhan lokal, seperti pengembangan AI untuk pertanian cerdas atau manajemen bencana, mengingat kondisi geografis dan sosial Indonesia yang unik.
Rencananya, diskusi awal ini akan dilanjutkan dengan pertemuan lebih intensif untuk merumuskan detail kurikulum, termasuk struktur pembelajaran, materi teknis, dan tahapan implementasi. Komdigi berencana melibatkan berbagai pihak, seperti universitas lokal, pelaku industri teknologi, dan komunitas open-source, untuk memastikan kurikulum ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga praktis dan dapat diterapkan langsung. “Kami ingin kurikulum ini menjadi jembatan antara pendidikan dan kebutuhan nyata di lapangan,” tutup Nezar.