Konglomerat Indonesia Pindahkan Harta ke Stablecoin USDT untuk Amankan Kekayaan dari Krisis Ekonomi
Jakarta – Ketidakstabilan ekonomi Indonesia mendorong para konglomerat untuk mengambil langkah besar dengan memindahkan kekayaan mereka ke luar negeri, khususnya dalam bentuk stablecoin USDT. Mengutip laporan Bloomberg, tren ini semakin meningkat di kalangan individu dengan kekayaan bersih US$100 juta hingga US$400 juta (setara Rp1,6 triliun hingga Rp6,7 triliun). Mereka mengonversi sekitar 10% dari total asetnya menjadi aset digital kripto, terutama USDT, yang memiliki nilai stabil setara dengan dolar Amerika Serikat (AS).
Tindakan ini dimulai sejak Oktober tahun lalu, sebagai respons terhadap kekhawatiran akan pelemahan ekonomi domestik, termasuk depresiasi rupiah dan tekanan inflasi. Dengan memanfaatkan USDT, para konglomerat dapat menghindari pengawasan ketat terhadap perpindahan dana besar, sekaligus melindungi aset dari fluktuasi ekonomi lokal.
Mengapa USDT Jadi Pilihan?
Stablecoin seperti USDT diminati karena nilainya yang terikat pada dolar AS, menawarkan stabilitas di tengah volatilitas pasar kripto. Langkah ini memungkinkan kekayaan disimpan dalam bentuk digital yang mudah dipindahkan tanpa terdeteksi oleh regulator. “Ini adalah strategi pintar untuk menjaga nilai aset di tengah ketidakpastian ekonomi,” ujar seorang analis pasar.
Data menunjukkan, individu dengan kekayaan Rp1,6 triliun hingga Rp6,7 triliun telah memindahkan dana antara Rp160 miliar hingga Rp640 miliar ke USDT. Untuk mendukung lonjakan permintaan, Tether, penerbit USDT, bahkan menambah pasokan sebanyak 1 miliar token di jaringan Tron (TRX).
Rupiah Terpuruk ke Rekor Terendah
Arus keluar dana besar-besaran ini memperparah tekanan pada rupiah. Pada Rabu (09/04), nilai tukar rupiah jatuh ke Rp16.946 per dolar AS, mencatatkan rekor terendah sepanjang masa, bahkan melampaui level terburuk saat krisis 1998. Pelemahan ini memicu keresahan di kalangan pelaku pasar dan menambah tantangan bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi.
“Perpindahan aset oleh konglomerat menjadi salah satu pemicu depresiasi rupiah yang signifikan,” kata seorang ekonom. Bank Indonesia kini menghadapi tekanan lebih besar untuk mengendalikan situasi melalui intervensi pasar.
Alasan dan Kontroversi
Para konglomerat menyebut langkah ini sebagai upaya melindungi kekayaan dari risiko inflasi, defisit anggaran, dan ketidakpastian global. Namun, aksi tersebut menuai kritik karena dianggap mencerminkan kurangnya kepercayaan terhadap ekonomi nasional. Di sisi lain, ada yang memandangnya sebagai langkah cerdas di masa sulit.