Luhut Wanti-wanti Bahaya Gelembung AI: Bisa Picu Krisis Global Mirip Dot-Com Bubble Tahun 2000-an
Surakarta, 15 Desember 2025 - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyuarakan kekhawatiran mendalam atas potensi terjadinya gelembung (bubble) di sektor kecerdasan buatan (AI), yang jika meledak bisa menimbulkan dampak ekonomi luas dan menyapu seluruh dunia. Pernyataan ini disampaikan Luhut dalam acara seminar ekonomi nasional pada awal Desember 2025, di mana ia membandingkan situasi saat ini dengan gelembung dot-com di awal 2000-an yang menyebabkan kolapsnya banyak perusahaan teknologi. "Kita akan lihat bagaimana AI bubble di Amerika. Ini kita harus hati-hati. Ini juga berbahaya, sangat berbahaya. Kalau sampai ini pecah, itu akan berdampak ekonomi luas," ujar Luhut, menekankan pentingnya langkah strategis untuk mengurangi risiko bagi pelaku ekonomi Indonesia. Ia mengimbau agar investor dan perusahaan tidak terlena dengan hype AI, melainkan mempersiapkan mitigasi seperti diversifikasi portofolio dan penguatan regulasi untuk menghadapi kemungkinan burst bubble yang bisa memicu resesi global.
Kekhawatiran Luhut ini bukan tanpa dasar, mengingat pasar AI global sedang mengalami pertumbuhan eksplosif. Menurut data Statista yang dirilis pada Oktober 2025, nilai pasar AI dunia mencapai US$260 miliar pada tahun ini, dan diproyeksikan melonjak hingga lebih dari US$1.200 miliar pada 2030, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) sekitar 30%. Proyeksi ini didorong oleh investasi masif dari raksasa teknologi seperti Nvidia dan Microsoft, di mana saham AI-related telah meroket, dengan Nvidia saja mencapai valuasi US$3 triliun pada pertengahan 2025. Namun, lonjakan ini menimbulkan tanda-tanda bubble, seperti overvaluation startup AI dan ketergantungan pada spekulasi daripada profitabilitas nyata, mirip dengan gelembung dot-com tahun 1995-2000 yang berakhir dengan kerugian US$5 triliun di pasar saham AS.
Perbandingan antara AI bubble dan dot-com bubble semakin sering dibahas oleh para ahli. Ekonom Ruchir Sharma dari Rockefeller Capital Management memperingatkan bahwa AI menunjukkan empat tanda klasik bubble—overhype, investasi berlebih, valuasi tak wajar, dan ketergantungan pada suku bunga rendah—dan bisa burst pada 2026 jika suku bunga naik. Berbeda dengan dot-com di mana banyak perusahaan tidak profitable, AI bubble dianggap lebih berisiko karena melibatkan perusahaan besar yang sudah mapan, tapi tetap rentan jika ekspektasi tidak terpenuhi. CEO Google Sundar Pichai juga menyuarakan kekhawatiran serupa, menyatakan bahwa no company immune jika bubble meledak, karena irasionalitas investasi AI telah menciptakan ketidakstabilan. Analis dari Yale Insights menambahkan bahwa bubble AI bisa burst melalui penurunan revenue dari overinvestment di data center dan chip, dengan biaya infrastruktur mencapai triliunan dolar tapi pengembalian belum pasti.
Di Indonesia, dampak potensial ini menjadi perhatian karena negara tengah mendorong adopsi AI melalui program seperti Indonesia Digital Economy 2030, dengan investasi mencapai Rp100 triliun pada 2025. Luhut menyarankan strategi mitigasi seperti penguatan regulasi fintech dan diversifikasi ekonomi untuk menghindari ketergantungan pada hype teknologi, seraya mengingatkan bahwa pecahnya bubble bisa memicu resesi seperti tahun 2000 yang menghapus ribuan pekerjaan di sektor tech. Pendapat ini didukung oleh pakar Harvard yang menilai bubble AI lebih berbahaya karena skalanya global, dengan risiko sistemik yang bisa mempengaruhi rantai pasok dan pasar keuangan dunia. Meski begitu, sebagian optimis seperti analis Janus Henderson berargumen bahwa AI bubble berbeda karena didasari oleh teknologi nyata dengan aplikasi luas, bukan sekadar spekulasi seperti dot-com. Dengan proyeksi pasar AI mencapai US$827 miliar pada 2030 menurut Grand View Research, kewaspadaan Luhut menjadi pengingat bagi Indonesia untuk berinvestasi bijak di era AI.
