Mampukah Negara Asia Menerapkan Strategi Cadangan Bitcoin Nasional?
Perdebatan mengenai Bitcoin (BTC) sebagai cadangan nasional semakin menguat di Asia, di mana negara-negara di kawasan ini tengah mengeksplorasi peran cryptocurrency dalam sistem keuangan mereka. Pertanyaan utamanya: apakah negara-negara Asia mampu mengadopsi Bitcoin sebagai strategi resmi untuk diversifikasi aset cadangan, mengingat volatilitasnya yang tinggi dan tantangan regulasi? Meskipun ada skeptisisme, beberapa negara menunjukkan langkah maju yang menjanjikan, sementara yang lain lebih hati-hati.
Hong Kong telah menjadi pionir dengan meluncurkan ETF spot Bitcoin dan Ethereum (ETH) pada 2024, yang menarik investasi lebih dari US$1 miliar dalam waktu singkat, menurut data dari Bloomberg. Kebijakan ini menandai pergeseran crypto dari instrumen spekulatif menuju bagian inti infrastruktur keuangan. Pada Mei 2025, Hong Kong juga mengesahkan Undang-Undang Stablecoin, yang memungkinkan penggunaan aset digital stabil untuk transaksi sehari-hari, memperkuat posisinya sebagai hub crypto di Asia.
Korea Selatan dan Indonesia mengambil pendekatan yang lebih fokus pada perlindungan pengguna. Di Korea Selatan, regulasi mewajibkan 80% aset crypto disimpan dalam cold storage dan diasuransikan, seperti yang dilaporkan oleh CoinDesk pada 2024, untuk melindungi investor dari risiko volatilitas. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia memperkuat pengawasan agar crypto masuk ranah regulasi formal, dengan target integrasi ke sistem pembayaran nasional pada 2026, menurut Reuters.
China menghadapi dilema besar terkait Bitcoin hasil sitaan, termasuk sekitar 195.000 BTC dari kasus PlusToken, yang bernilai miliaran dolar. Menurut The Block, tanpa regulasi nasional yang jelas, beberapa pemerintah daerah melepas aset tersebut secara terpisah, memunculkan desakan agar Beijing membuat kebijakan cadangan yang terkoordinasi. Meskipun China melarang perdagangan crypto sejak 2021, pemerintahnya diam-diam mengeksplorasi penggunaan blockchain untuk yuan digital (e-CNY), yang telah diuji coba di lebih dari 20 kota sejak 2020.
Data dari Bitcoin Treasuries mencatat bahwa pemerintah dunia menguasai 463.741 BTC atau 2,3% dari total suplai global, dengan nilai lebih dari US$50 miliar pada harga saat ini. Namun, sebagian besar berasal dari penyitaan, sehingga belum menjadi strategi cadangan yang terencana. Di Asia, Bhutan menunjukkan pendekatan yang lebih agresif dengan memiliki lebih dari 13.000 BTC setara Rp21,3 triliun, dikelola oleh BUMN Druk Holding & Investments, yang mencapai 40% dari PDB Bhutan. Menurut Forbes, Bhutan menggunakan Bitcoin dari hasil penambangan untuk mendanai proyek infrastruktur, menjadikannya contoh sukses adopsi crypto sebagai cadangan nasional.
Perbedaan langkah ini memperlihatkan bahwa keputusan soal Bitcoin lebih banyak dipengaruhi faktor politik dan kredibilitas negara, bukan sekadar kalkulasi ekonomi. Di Asia, di mana regulasi semakin mendukung inovasi digital, adopsi Bitcoin sebagai cadangan nasional tampak semakin realistis, meskipun tantangan seperti volatilitas harga dan risiko regulasi global tetap ada. Dengan perkembangan seperti ETF di Hong Kong dan stablecoin di Jepang, Asia berpotensi menjadi pusat crypto dunia dalam dekade mendatang.