Menkeu AS Scott Bessent Ajukan Syarat Negosiasi Perdagangan dengan China

4/25/20252 min baca

Scott Bessent
Scott Bessent

Washington D.C., 25 April 2025 – Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Scott Bessent, mengajukan syarat penting dalam upaya melanjutkan negosiasi perdagangan dengan China. Pernyataan ini muncul di tengah ketegangan perang dagang yang terus berlangsung antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Bessent menegaskan bahwa tarif yang saat ini diberlakukan oleh AS dan China, yang dianggap terlalu tinggi, harus diturunkan sebagai langkah awal sebelum pembicaraan dapat masuk ke tahap kesepakatan yang lebih substansial.

Selain itu, Bessent mendesak International Monetary Fund (IMF) dan World Bank untuk segera menerapkan langkah-langkah de-eskalasi. Menurutnya, intervensi dari kedua lembaga internasional ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas yang mendukung pemulihan hubungan perdagangan antara AS dan China. "Kami membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk bernegosiasi, dan itu dimulai dengan penurunan tarif serta dukungan global," ujar Bessent dalam konferensi pers di Washington.

Namun, meskipun Bessent mendorong de-eskalasi, Presiden AS Donald Trump tampaknya belum bersedia mengambil langkah pertama. Trump diketahui masih mempertahankan sikap keras terhadap China, menuntut Beijing untuk menunjukkan itikad baik terlebih dahulu sebelum AS melonggarkan kebijakan tarifnya. Sikap ini mencerminkan pendekatan Trump yang konsisten sejak awal perang dagang, di mana ia kerap menekankan pentingnya keunggulan ekonomi AS.

Latar Belakang Perang Dagang AS-China

Konflik perdagangan antara AS dan China bukanlah hal baru. Ketegangan ini mulai memanas pada 2018, saat pemerintahan Trump pertama kali memberlakukan tarif terhadap barang-barang impor dari China senilai miliaran dolar. AS menuding China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, termasuk pencurian kekayaan intelektual dan manipulasi mata uang. Sebagai respons, China membalas dengan tarif serupa terhadap produk-produk AS, seperti kedelai dan otomotif, yang memperburuk hubungan kedua negara.

Dampaknya terhadap ekonomi global pun signifikan. Menurut perkiraan IMF, perang dagang ini telah menyebabkan kerugian ekonomi dunia hingga US$1,2 triliun hingga tahun 2025. Sektor-sektor seperti teknologi, manufaktur, dan pertanian menjadi yang paling terpukul, sementara rantai pasok global mengalami gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, juga terkena imbasnya melalui pelemahan nilai tukar dan penurunan ekspor.

Harapan dan Tantangan ke Depan

Syarat yang diajukan Bessent ini membuka peluang untuk meredakan ketegangan, tetapi tantangannya tetap besar. China, yang ekonominya juga tertekan akibat konflik ini, belum memberikan tanggapan resmi. Analis memperkirakan bahwa Beijing akan berhati-hati dalam menanggapi, mengingat tekanan domestik dan kebutuhan untuk mempertahankan posisi tawar dalam negosiasi.

Di sisi lain, keterlibatan IMF dan World Bank dapat menjadi katalis penting. Kedua lembaga ini memiliki pengaruh untuk mendorong kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi global. Namun, keberhasilan langkah ini akan sangat bergantung pada kesediaan kedua belah pihak untuk berkompromi—sesuatu yang hingga kini masih sulit dicapai.

Bessent sendiri optimistis bahwa negosiasi ini bisa menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan, terutama jika AS dapat meningkatkan sektor manufaktur domestiknya. "Kami ingin perdagangan yang seimbang, yang tidak hanya menguntungkan satu pihak tetapi juga memperkuat ekonomi kami," tambahnya.

Menanti Langkah Selanjutnya

Dengan syarat yang telah diajukan, dunia kini menantikan respons dari China dan perkembangan lebih lanjut dari pemerintahan Trump. Apakah negosiasi ini akan membawa angin segar bagi ekonomi global atau justru memperpanjang konflik yang merugikan, hanya waktu yang akan menjawab.

Image Source : Getty Images