Meskipun Investor, Mengapa Kebijakan Trump Justru Sering Bikin Pasar Kebakaran?

10/12/20252 min baca

man in black suit jacket
man in black suit jacket

Surakarta, 12 Oktober 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dikenal sebagai sosok yang paham dunia investasi dengan kekayaan pribadi mencapai miliaran dolar dari bisnis properti dan hiburan. Namun, kebijakan ekonominya sebagai presiden sering kali memicu gejolak di pasar keuangan global. Pendekatan proteksionisnya, seperti penerapan tarif impor terhadap China dan negara-negara lain, menciptakan ketidakpastian yang membuat investor panik. Tujuannya lebih bersifat politik dan ekonomi makro, bukan semata mencari keuntungan jangka pendek bagi pasar.

Trump, yang memulai karirnya sebagai pengembang real estate, memang memahami logika bisnis. Namun, sebagai presiden, ia menerapkan kebijakan "America First" yang prioritasnya melindungi industri dalam negeri dari kompetisi asing. Kebijakan tarifnya bertujuan untuk menekan defisit perdagangan AS, yang mencapai US$375 miliar dengan China pada 2024, menurut U.S. Census Bureau. Ia berupaya memaksa China mengubah praktik dagangnya yang dianggap merugikan, sekaligus mendorong perusahaan AS memindahkan produksi ke tanah air.

Namun, dari perspektif investor, kebijakan tarif justru menjadi sumber ketidakstabilan. Kenaikan bea impor membuat biaya produksi meningkat, rantai pasok terganggu, dan risiko tarif balasan dari China ikut melonjak. Situasi ini menekan margin keuntungan perusahaan besar serta memicu kekhawatiran inflasi, yang pada akhirnya mengguncang indeks saham seperti Dow Jones dan S&P 500, bahkan pasar crypto. Menurut Reuters, tarif Trump terhadap China pada 2018 menyebabkan penurunan S&P 500 hingga 6% dalam sebulan, dengan kerugian ekonomi AS mencapai US$1,9 triliun dalam defisit.

Sebagai seorang investor, Trump mungkin memahami logika bisnis, tetapi sebagai presiden, tindakannya lebih mencerminkan pandangan politik “America First”. Ia melihat perdagangan global sebagai permainan menang-kalah, berbeda dengan pandangan ekonomi modern yang menilai perdagangan bebas dapat menguntungkan banyak pihak. Alhasil, meski kebijakannya bisa menguntungkan sebagian industri domestik seperti baja dan aluminium, langkah itu tetap menjadi mimpi buruk bagi stabilitas pasar global.

Di sisi lain, kebijakan ini juga memengaruhi aset alternatif seperti cryptocurrency. Dengan ketidakpastian fiat yang meningkat, investor beralih ke Bitcoin sebagai lindung nilai, yang naik 80% selama krisis 2013, menurut CoinMarketCap. Namun, volatilitas tetap tinggi, dengan BTC turun 4% pada 2022 akibat perang dagang.

Menurut The Wall Street Journal, kebijakan Trump sering kali memicu "Trump trades," di mana saham sektor teknologi anjlok sementara saham pertahanan naik. Analis Michael Wilson dari Morgan Stanley memperingatkan, "Tarif bisa menambah inflasi 0,3% dan memperlambat PDB 0,2%." Di Indonesia, tarif AS terhadap ekspor seperti tekstil menyebabkan rupiah melemah ke Rp16.454 dan IHSG turun 1,3% ke 7.665 pada Agustus 2025, menurut Bisnis Indonesia.

Secara keseluruhan, kebijakan Trump menciptakan ketidakpastian yang membuat pasar "kebakaran," meskipun tujuannya melindungi ekonomi AS. Investor disarankan diversifikasi ke aset lindung nilai seperti emas atau Bitcoin untuk menghadapi gejolak ini.