Negosiasi Gagal, Indonesia Diancam Tarif Lebih Tinggi Jika Menghindar dari AS

7/8/20254 min baca

tarif trump 32% untuk indonesia
tarif trump 32% untuk indonesia

Jakarta, 8 Juli 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, secara resmi menetapkan tarif perdagangan sebesar 32% untuk barang impor dari Indonesia mulai 1 Agustus 2025. Dalam pernyataan yang diunggah melalui platform Truth Social pada Selasa (08/07), Trump memperingatkan bahwa jika Indonesia berupaya menghindari tarif ini, misalnya melalui pengiriman ulang (transshipment) barang melalui negara ketiga, maka tarif yang lebih tinggi akan dikenakan. Lebih lanjut, ia mengancam akan melipatgandakan tarif hingga 64% jika Indonesia membalas dengan kebijakan tarif balasan.

“Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif hanya sebesar 32% kepada Indonesia untuk setiap dan semua produk Indonesia yang dikirim ke Amerika Serikat, terpisah dari semua Tarif Sektoral. Barang yang dikirim untuk menghindari Tarif yang lebih tinggi akan dikenakan Tarif yang lebih tinggi tersebut,” tulis Trump.

“Jika karena alasan apa pun Anda (Indonesia) memutuskan untuk menaikkan Tarif Anda, maka, berapa pun angka yang Anda pilih untuk dinaikkan, akan ditambahkan ke 32% yang kami kenakan,” tambahnya, menegaskan ancaman kenaikan tarif hingga dua kali lipat.

Trump menyebut kebijakan ini sebagai langkah untuk memperbaiki defisit perdagangan AS dengan Indonesia, yang menurut data U.S. Census Bureau mencapai US$14,34 miliar pada 2024. Ia juga menuding Indonesia memberlakukan hambatan perdagangan yang menyulitkan produk AS masuk ke pasar Indonesia. Namun, Trump menawarkan solusi: perusahaan Indonesia yang membangun pabrik di AS akan dibebaskan dari tarif, dengan janji proses perizinan yang cepat dan profesional dalam hitungan minggu.

Kegagalan Negosiasi Indonesia

Upaya negosiasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto gagal membuahkan hasil. Airlangga, yang terbang ke Washington, D.C. dari Rio de Janeiro setelah menghadiri KTT BRICS pada 7 Juli 2025, tidak berhasil mendapatkan keringanan tarif. Tarif 32% yang diumumkan tetap sama dengan kebijakan awal yang diberlakukan pada April 2025, menunjukkan bahwa AS tidak memberikan konsesi meskipun Indonesia telah menawarkan pembelian produk AS seperti gas alam cair, kedelai, dan komponen infrastruktur.

Menurut Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, Indonesia tetap optimistis bahwa negosiasi lanjutan dapat menghasilkan keringanan sebelum tenggat waktu 1 Agustus 2025. “Presiden Trump menyatakan masih ada peluang untuk berdiskusi guna menurunkan tarif,” ujar Hasan dalam konferensi pers di Jakarta. Namun, kegagalan negosiasi awal ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha Indonesia, terutama di sektor ekspor seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang menyumbang 61,4% ekspor pakaian dan 33,8% ekspor alas kaki ke AS.

Dampak Ekonomi bagi Indonesia

Tarif 32% ini diperkirakan akan meningkatkan biaya ekspor Indonesia ke AS, sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia dibandingkan dengan negara seperti Vietnam (tarif 46%) atau Kamboja (tarif 49%). Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Muhammad Edhie Purnawan, memperingatkan bahwa tarif ini dapat menyebabkan penurunan ekspor yang signifikan, terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Ia memperkirakan dampaknya bisa mengurangi pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,3-0,5 poin persentase jika tidak ada mitigasi yang memadai.

Selain itu, ancaman tarif 64% jika Indonesia membalas dengan tarif balasan menempatkan pemerintah dalam posisi sulit. Menurut The Diplomat, Indonesia telah memilih jalur diplomasi daripada retaliasi untuk menghindari eskalasi konflik perdagangan. Pemerintah berencana menghidupkan kembali Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dan menawarkan insentif seperti pengurangan bea masuk untuk produk AS, termasuk baja dan peralatan kesehatan. Namun, langkah ini belum cukup untuk meyakinkan AS.

Respons dan Strategi Indonesia

Pemerintah Indonesia, di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, berupaya merespons ancaman ini dengan hati-hati. Selain negosiasi, Indonesia sedang menjajaki diversifikasi pasar ekspor ke ASEAN, Eropa, dan Timur Tengah untuk mengurangi ketergantungan pada AS, yang merupakan tujuan ekspor terbesar kedua setelah China. Ekonom dari Bank Mandiri menyarankan agar Indonesia juga memperkuat sektor domestik melalui insentif pajak dan program pelatihan untuk mendukung industri yang terdampak.

Sementara itu, beberapa perusahaan besar Indonesia, seperti Grup Salim dan Sinar Mas, sedang mempertimbangkan investasi di AS untuk memanfaatkan tawaran bebas tarif. Nikkei Asia melaporkan bahwa Grup Salim telah mengalokasikan US$500 juta untuk membangun pabrik pengolahan pangan di AS, yang dapat menciptakan ribuan lapangan kerja lokal dan memperkuat hubungan bilateral. Namun, pelaku usaha kecil menengah (UKM) menghadapi tantangan besar karena biaya produksi di AS yang tinggi sulit dipenuhi.

Implikasi Regional dan Global

Kebijakan tarif Trump tidak hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga mengguncang pasar global. CNBC melaporkan bahwa 14 negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Kamboja, menghadapi tarif baru mulai 25% hingga 49%, dengan ancaman kenaikan jika mereka membalas. Ancaman tarif tambahan 10% terhadap negara-negara BRICS, termasuk Indonesia yang baru bergabung, menambah ketegangan. Hal ini melemahkan solidaritas ASEAN, terutama setelah Vietnam berhasil menurunkan tarifnya dari 46% menjadi 20% melalui negosiasi bilateral.

Pasar saham global juga terpukul. CBS News mencatat bahwa pengumuman tarif pada April 2025 menyebabkan penurunan S&P 500 sebesar 10,53% dan Nasdaq 11,44%, dengan kerugian pasar AS mencapai US$5-6,6 triliun. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot di bawah level 6.900, sementara rupiah melemah ke Rp16.278 per dolar AS. Di sisi lain, harga emas Antam melonjak menjadi Rp1.906.000 per gram karena investor beralih ke aset safe-haven.

Tantangan dan Peluang ke Depan

Kegagalan negosiasi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit. Retaliasi dengan tarif balasan berisiko memicu tarif 64% dari AS, yang dapat memperburuk defisit perdagangan dan inflasi domestik. Namun, tawaran Trump untuk membebaskan tarif bagi perusahaan yang berinvestasi di AS membuka peluang bagi perusahaan besar Indonesia untuk ekspansi global, meskipun UKM mungkin tertinggal.

Untuk mengatasi dampak jangka panjang, Indonesia perlu mempercepat diversifikasi pasar dan memperkuat kerja sama regional melalui ASEAN. The Diplomat menyarankan agar Indonesia fokus pada reformasi ekonomi domestik, seperti memperbaiki sistem pajak digital (Coretax) yang bermasalah dan meningkatkan daya saing industri lokal, daripada hanya bergantung pada negosiasi dengan AS.

Kesimpulan

Ancaman tarif 32% dan potensi kenaikan hingga 64% dari Trump menempatkan Indonesia dalam situasi perdagangan yang kritis. Kegagalan negosiasi awal menunjukkan tantangan dalam menghadapi kebijakan proteksionis AS, tetapi juga membuka peluang untuk reformasi dan diversifikasi. Dengan pendekatan diplomasi yang cermat dan strategi ekonomi yang kuat, Indonesia dapat mengurangi dampak buruk sekaligus memanfaatkan peluang baru di tengah ketidakpastian global.