Nvidia Cetak Sejarah Jadi Perusahaan dengan Nilai Pasar US$4 Triliun

7/10/20253 min baca

the nvidia logo is displayed on a table
the nvidia logo is displayed on a table

Jakarta, 10 Juli 2025 – Nvidia (NVDA) mencetak sejarah sebagai perusahaan publik pertama yang menembus kapitalisasi pasar US$4 triliun, menandai tonggak penting dalam dominasi teknologi dan kecerdasan buatan (AI). Saham Nvidia sempat naik 1,8% ke US$164,15 per lembar sebelum ditutup dengan valuasi US$3,9 triliun, didukung oleh optimisme investor terhadap peran perusahaan dalam revolusi AI. Sementara itu, indeks utama Wall Street seperti Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq juga menguat, mencerminkan ketahanan pasar meskipun ada ketegangan perdagangan global.

Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperluas perang dagang dengan mengumumkan tarif 50% untuk impor tembaga dan ancaman tarif hingga 200% untuk produk farmasi. Kebijakan ini memicu lonjakan harga tembaga di pasar domestik AS dan memperlebar selisih dengan patokan London, menimbulkan kekhawatiran tentang inflasi dan gangguan rantai pasok global.

Dalam pasar kripto, Bitcoin (BTC) mencapai rekor tertinggi baru di US$112.000 pada Kamis (10/07) pagi, didorong oleh peningkatan risiko geopolitik dan permintaan institusional yang berkelanjutan. Sementara itu, indeks DXY yang mengukur kekuatan dolar AS turun 6% sejak pengumuman tarif Trump pada April dan anjlok 10,24% sepanjang tahun ini, menurut TradingView. Pasar obligasi AS menunjukkan ketahanan, dengan imbal hasil obligasi 10 tahun turun ke 4,34% usai lelang yang diminati investor, sementara harga minyak stabil dengan Brent di US$70,19 per barel dan WTI di US$68,38 per barel, didukung oleh permintaan bensin AS yang kuat dan ketegangan di Laut Merah.

Nvidia: Pionir AI dan Tonggak Baru Kapitalisasi Pasar

Nvidia mencapai puncaknya pada Rabu (09/07), menjadi perusahaan pertama yang menyentuh valuasi US$4 triliun di tengah sesi perdagangan, meskipun ditutup sedikit di bawahnya. Lonjakan ini didorong oleh permintaan yang melonjak untuk chip AI, yang menjadi tulang punggung teknologi generatif seperti yang digunakan oleh perusahaan seperti OpenAI dan Google. Menurut The Economic Times, Nvidia kini menyumbang 7,3% dari indeks S&P 500, melampaui kontribusi Apple dan Microsoft, yang masing-masing sebesar 7% dan 6%. Pencapaian ini menegaskan posisi Nvidia sebagai pemimpin dalam revolusi AI, yang disebut CEO Jensen Huang sebagai "revolusi industri berikutnya."

Namun, kenaikan ini tidak lepas dari tantangan. Nvidia menghadapi pembatasan ekspor ke China, yang dapat mengurangi penjualan hingga US$8 miliar, menurut pernyataan Huang pada Mei 2025. Meskipun demikian, investor tetap optimistis, terlihat dari lonjakan saham yang menjadikan Nvidia perusahaan paling berharga di dunia untuk sesaat.

Tarif Trump: Eskalasi Perang Dagang dan Dampaknya

Presiden Trump memperluas perang dagang dengan mengenakan tarif 50% pada impor tembaga dan mengancam tarif hingga 200% pada farmasi, yang akan berlaku pada 1 Agustus 2025. Kebijakan ini memicu lonjakan harga tembaga di pasar domestik AS, dengan kontrak berjangka tembaga AS melonjak dan memperlebar selisih dengan patokan London. Menurut The Hindu BusinessLine, pasar tampaknya mengabaikan kekhawatiran tarif, tetapi analis memperingatkan bahwa eskalasi lebih lanjut dapat memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan global.

Trump juga mengancam tarif tambahan pada negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, yang dapat memperburuk ketegangan perdagangan. Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk melindungi industri domestik AS, tetapi berisiko memicu retaliasi dari mitra dagang dan mengganggu rantai pasok global.

Bitcoin: Rekor Baru di Tengah Ketidakpastian Global

Bitcoin (BTC) mencapai rekor tertinggi baru di US$112.000, didorong oleh permintaan institusional yang kuat dan peningkatan risiko geopolitik. Kenaikan ini terjadi di tengah volatilitas pasar yang dipicu oleh kebijakan tarif Trump, yang mendorong investor mencari aset alternatif seperti kripto. Menurut postingan di X, Bitcoin dianggap sebagai lindung nilai terhadap ketidakstabilan ekonomi dan devaluasi mata uang fiat.

Namun, lonjakan Bitcoin juga memicu kekhawatiran tentang gelembung spekulatif. Beberapa analis memperingatkan bahwa kenaikan harga yang cepat dapat diikuti oleh koreksi tajam, terutama jika ada perubahan regulasi atau pengetatan moneter oleh bank sentral.

DXY: Dolar AS Tertekan oleh Kebijakan Tarif

Indeks DXY, yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang utama, turun 6% sejak pengumuman tarif Trump pada April dan anjlok 10,24% sepanjang tahun ini. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dampak tarif pada ekonomi AS, yang dapat memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan. Selain itu, kebijakan moneter Federal Reserve yang cenderung dovish turut menekan dolar.

Menurut Reuters, indeks dolar telah turun lebih dari 6% sejak Trump mengumumkan tarif resiprokal pada April 2025, dan tren ini diperkirakan berlanjut jika ketegangan perdagangan meningkat.

Pasar Obligasi dan Minyak: Stabilitas di Tengah Gejolak

Pasar obligasi AS menunjukkan ketahanan, dengan imbal hasil obligasi 10 tahun turun ke 4,34% usai lelang yang diminati investor. Penurunan imbal hasil ini menandakan permintaan yang kuat untuk obligasi pemerintah AS sebagai aset safe-haven. Sementara itu, harga minyak stabil, dengan Brent di US$70,19 per barel dan WTI di US$68,38 per barel, didukung oleh permintaan bensin AS yang kuat dan ketegangan di Laut Merah yang mengancam pasokan.

Analis dari The Economic Times mencatat bahwa meskipun ada kekhawatiran tarif, pasar minyak tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti permintaan dan pasokan, daripada kebijakan perdagangan.

Kesimpulan

Pencapaian Nvidia sebagai perusahaan pertama dengan valuasi US$4 triliun menandai era baru dominasi teknologi AI, sementara kebijakan tarif Trump memperluas ketegangan perdagangan global. Lonjakan Bitcoin ke US$112.000 mencerminkan permintaan akan aset alternatif di tengah ketidakpastian, sementara penurunan DXY menunjukkan tekanan pada dolar AS. Pasar obligasi dan minyak tetap stabil, meskipun ada gejolak di pasar saham dan komoditas. Investor kini menantikan data klaim pengangguran dan risalah pertemuan Federal Reserve untuk petunjuk lebih lanjut tentang arah kebijakan moneter AS.