Pemerintah Targetkan Kemiskinan Turun ke 6,5% pada 2026

5/21/20253 min baca

white and brown wooden houses on body of water under blue sky during daytime
white and brown wooden houses on body of water under blue sky during daytime

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menetapkan target ambisius untuk menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia menjadi 6,5% hingga 7,5% pada tahun 2026. Selain itu, pemerintah juga berupaya menekan tingkat pengangguran terbuka ke angka 4,44% hingga 4,96% dalam periode yang sama. Target ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 20 Mei 2025. Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa angka kemiskinan ditargetkan turun dari proyeksi 7% hingga 8% pada 2025 menjadi rentang yang lebih rendah pada tahun berikutnya. Pemerintah juga optimistis pertumbuhan ekonomi pada 2026 akan berada di kisaran 5,2% hingga 5,8%, dengan inflasi yang terjaga pada level 3,5%.

Namun, ambisi ini diumumkan di tengah sorotan tajam terkait perbedaan data kemiskinan yang signifikan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia (World Bank). BPS melaporkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia pada September 2024 berada di angka 8,57%, yang berarti sekitar 24,06 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan versi BPS ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar US$1,25 per hari berdasarkan kurs saat ini. Sebaliknya, laporan terbaru World Bank menyebutkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia, atau sekitar 171,9 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Angka ini dihitung berdasarkan standar garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan menengah ke atas, yaitu US$6,85 per hari (sekitar Rp108.000 per hari).

Perbedaan mencolok ini memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan ekonom serta masyarakat. Menurut penjelasan resmi, disparitas angka tersebut berasal dari metodologi pengukuran yang berbeda. BPS menggunakan garis kemiskinan nasional yang mencerminkan biaya kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN), meliputi konsumsi pangan setara 2.100 kilokalori per hari serta kebutuhan non-pangan seperti pendidikan dan perumahan. Sementara itu, World Bank mengadopsi standar Purchasing Power Parity (PPP) yang lebih tinggi untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Standar US$6,85 per hari ini mencerminkan ambang batas yang relevan bagi negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia, yang kembali masuk kategori tersebut pada 2023 setelah sempat turun akibat pandemi COVID-19.

Untuk mencapai target yang telah dicanangkan, pemerintah merancang sejumlah strategi kebijakan. Salah satu fokus utama adalah meningkatkan investasi di sektor infrastruktur, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, dan kawasan industri, guna menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, sektor industri manufaktur juga akan didorong untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja, sejalan dengan target penurunan pengangguran. Pemerintah juga berencana memperkuat program bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta memperluas akses pelatihan kerja melalui Kartu Prakerja. Di sisi lain, pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi prioritas dengan memberikan dukungan berupa pembiayaan murah dan akses pasar yang lebih luas.

Data dari World Bank menunjukkan bahwa meskipun tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi berdasarkan standar internasional, ada tren penurunan yang positif. Laporan Indonesia Economic Prospects terbaru dari World Bank memproyeksikan bahwa tingkat kemiskinan akan turun menjadi 58,7% pada 2025 dan 57,2% pada 2026, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Namun, laporan ini juga menyoroti tantangan besar dalam hal ketimpangan. Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh stabil di kisaran 5% per tahun, distribusi manfaatnya belum merata, terutama di daerah pedesaan dan wilayah timur Indonesia.

Para ekonom menilai bahwa target pemerintah cukup ambisius, namun tidak mustahil jika didukung oleh pelaksanaan kebijakan yang konsisten. Dr. Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa perbedaan data antara BPS dan World Bank seharusnya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada angka, tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. "Standar US$6,85 per hari itu realistis untuk mengukur kemiskinan di negara seperti Indonesia. Pemerintah perlu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi benar-benar mengangkat kesejahteraan rakyat, bukan hanya elite," ujarnya, dikutip dari Kompas.com.

Di sisi lain, tantangan global seperti ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang, perubahan iklim, dan volatilitas harga komoditas juga dapat memengaruhi pencapaian target ini. Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang prudent dan reformasi struktural yang berkelanjutan akan menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah juga diharapkan dapat menjaga stabilitas politik dan kepercayaan investor untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.

Dengan visi Indonesia Emas 2045 di depan mata, pemerintahan Prabowo Subianto tampaknya berupaya mempercepat langkah menuju status negara maju. Namun, keberhasilan target kemiskinan 6,5%-7,5% dan pengangguran 4,44%-4,96% pada 2026 akan sangat bergantung pada efektivitas implementasi kebijakan serta kemampuan pemerintah menjawab tantangan domestik maupun global.