Penambahan Impor AS Senilai Rp318,9 Triliun: Ancaman Pekerja Manufaktur Indonesia
Jakarta, 15 April 2025 – Pemerintah Republik Indonesia (RI) baru-baru ini mengumumkan rencana untuk meningkatkan impor dari Amerika Serikat (AS) sebesar Rp318,9 triliun sebagai strategi untuk memperkuat posisi tawar dalam menghadapi kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tarif impor sebesar 32% yang dikenakan Trump pada produk Indonesia, yang mulai berlaku pada 9 April 2025. Tarif ini telah memicu kekhawatiran besar di kalangan pelaku industri, khususnya karena potensi dampaknya terhadap perekonomian nasional dan tenaga kerja.
Konteks Kebijakan dan Strategi Impor
Kebijakan tarif Trump menyasar negara-negara dengan surplus perdagangan besar terhadap AS, termasuk Indonesia, yang pada 2024 mencatat surplus sebesar US$16,84 miliar dengan ekspor utama seperti elektronik, tekstil, dan alas kaki. Untuk meredam dampak tarif tersebut, Indonesia berencana meningkatkan impor barang dari AS, dengan fokus pada produk agrikultur seperti kedelai, gas alam cair (LNG), dan gas petroleum cair (LPG). Langkah ini diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai bagian dari negosiasi perdagangan bilateral dengan AS, yang dijadwalkan berlangsung di Washington pada 17 April 2025.
Namun, rincian barang impor belum diumumkan secara resmi. Airlangga menyatakan bahwa penambahan kuota impor agrikultur menjadi prioritas karena komoditas ini sudah menjadi bagian besar dari impor Indonesia dari AS. Selain itu, pemerintah juga berencana menurunkan pajak impor untuk barang-barang AS seperti elektronik, baja, dan peralatan kesehatan sebagai bagian dari strategi diplomasi ekonomi.
Ancaman terhadap Pekerja Manufaktur
Di sisi lain, langkah ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama karena potensi dampaknya terhadap sektor manufaktur dalam negeri. Pada Maret 2025, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan bahwa 19 juta pekerja manufaktur di Indonesia terancam kehilangan pekerjaan akibat membanjirnya produk impor murah di pasar domestik. Industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik menjadi yang paling rentan, dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah terjadi sejak awal tahun.
Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memperburuk kondisi ekonomi nasional jika tidak dikelola dengan ketat. “Beberapa tahun terakhir saja sudah dihantam habis-habisan oleh krisis overcapacity dan perlambatan ekonomi China. Produk-produk murah, bahkan ilegal, masuk ke pasar kita dengan mudah. Kalau sekarang lepas rem, gelombang barang murah bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” ujar Andry, dikutip dari Tempo. Ia menambahkan bahwa tanpa pembatasan impor yang jelas, industri lokal akan semakin tertekan, dan risiko PHK massal akan meningkat drastis.
Sebagai contoh, kejatuhan perusahaan tekstil besar seperti Sritex pada bulan lalu, yang mengakibatkan lebih dari 10.000 pekerja kehilangan pekerjaan, menjadi peringatan nyata akan dampak impor murah. Sritex, salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, terpaksa bangkrut akibat tekanan dari produk tekstil China yang membanjiri pasar global setelah dikenai tarif tinggi oleh AS. Efek domino dari kebijakan tarif Trump ini kini diperparah dengan rencana impor besar-besaran dari AS, yang dikhawatirkan akan semakin mempersulit industri lokal untuk bersaing.
Dampak pada Iklim Investasi
Selain ancaman terhadap tenaga kerja, Andry juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap iklim investasi di Indonesia. Menurutnya, jika pasar domestik dibanjiri produk impor murah, investor asing akan kehilangan minat untuk membangun fasilitas produksi di Indonesia. “Investor mencari pasar yang stabil dan kompetitif. Jika produk impor mendominasi, mereka tidak akan melihat alasan untuk berinvestasi di sini,” jelasnya. Hal ini kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk menarik relokasi investasi dari negara-negara seperti China, yang juga terkena dampak tarif Trump.
Sementara itu, beberapa ekonom melihat peluang dari kebijakan ini, seperti yang disampaikan oleh Muhammad Edhie Purnawan, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menyebutkan bahwa tarif 32% yang dikenakan pada Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Vietnam (46%) dan Kamboja (49%), sehingga ada potensi untuk meningkatkan pangsa pasar produk Indonesia seperti pakaian dan alas kaki di AS. Namun, peluang ini dapat sirna jika industri lokal tidak mampu bertahan dari tekanan impor yang meningkat.
Tantangan Ekonomi dan Strategi ke Depan
Kebijakan penambahan impor ini juga memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat, sebagaimana tercermin dalam sentimen di media sosial. Beberapa pengguna di X menyuarakan ketidaksetujuan terhadap langkah ini, menyebutnya sebagai bentuk “penjualan masa depan ekonomi Indonesia” demi kepentingan asing. Salah satu pengguna bahkan menyebut bahwa langkah ini menunjukkan “kelemahan kedaulatan ekonomi RI” dan dapat mengorbankan sektor manufaktur lokal.
Di tengah volatilitas global yang dipicu oleh kebijakan tarif Trump—dengan penurunan indeks S&P 500 sebesar 10,53% dan Nikkei 225 sebesar 5,44% pada awal April 2025—Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam siklus ekonomi yang merugikan. Pemerintah perlu merancang strategi yang seimbang, seperti diversifikasi pasar ekspor ke kawasan ASEAN, Eropa, dan Timur Tengah, serta memperkuat sektor domestik melalui deregulasi non-tariff measures (NTM) untuk menarik investasi.
Kesimpulan
Penambahan impor senilai Rp318,9 triliun dari AS sebagai respons terhadap tarif Trump membawa risiko besar bagi perekonomian Indonesia, khususnya bagi 19 juta pekerja manufaktur yang sudah berada di ujung tanduk. Tanpa pengawasan ketat dan kebijakan pendukung yang kuat, langkah ini dapat memicu gelombang PHK massal di sektor padat karya serta menghambat iklim investasi. Di sisi lain, strategi diplomasi ekonomi yang cermat dan diversifikasi pasar dapat menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatif dan memanfaatkan peluang yang ada di tengah dinamika perdagangan global.