Pengadilan Dagang AS Putuskan Tarif Trump Ilegal
Court of International Trade di Manhattan, New York, telah mengeluarkan putusan penting yang menyatakan bahwa tarif dagang yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah ilegal. Keputusan ini datang setelah berbulan-bulan gejolak di pasar global yang dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Trump terhadap puluhan negara, termasuk Indonesia. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa Trump telah melampaui kewenangan yang diberikan oleh International Emergency Economic Powers Act (IEEPA), undang-undang yang mengatur penggunaan kekuatan ekonomi darurat oleh presiden AS. Hakim memutuskan bahwa pemberlakuan tarif tersebut tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat, sehingga dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang eksekutif.
Kebijakan tarif ini pertama kali diperkenalkan sebagai bagian dari agenda "America First" Trump, yang bertujuan untuk melindungi industri domestik AS dari apa yang disebutnya sebagai praktik perdagangan tidak adil oleh negara-negara lain. Tarif resiprokal tersebut menargetkan berbagai sektor, mulai dari barang manufaktur hingga komoditas, dan memengaruhi hubungan dagang AS dengan mitra-mitra utamanya seperti Uni Eropa, Tiongkok, dan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun, kebijakan ini menuai kritik keras karena dianggap memperburuk ketegangan perdagangan global dan mengganggu rantai pasok internasional.
Reaksi Pemerintahan Trump dan Langkah Banding
Pemerintahan Trump dengan tegas menolak putusan pengadilan ini. Melansir Bloomberg pada Kamis (29/05) pagi, Gedung Putih menyatakan bahwa mereka akan mengajukan banding ke Mahkamah Agung AS, pengadilan tertinggi di negara tersebut. Juru bicara pemerintahan Trump menyebut putusan ini sebagai "serangan terhadap kedaulatan ekonomi AS" dan menegaskan bahwa tarif tersebut sangat penting untuk melindungi kepentingan keamanan nasional serta pekerja Amerika. Dalam argumen mereka, pemerintahan Trump bersikeras bahwa IEEPA memberikan presiden keleluasaan luas untuk mengambil tindakan ekonomi dalam situasi yang dianggap darurat, meskipun pengadilan berpendapat sebaliknya.
Langkah banding ini diperkirakan akan memanaskan kembali debat hukum dan politik di AS mengenai batas-batas kekuasaan presiden dalam kebijakan perdagangan. Para analis hukum memperkirakan bahwa Mahkamah Agung, yang saat ini didominasi oleh hakim konservatif—termasuk tiga yang ditunjuk oleh Trump sendiri—mungkin akan memberikan pertimbangan yang lebih menguntungkan bagi pemerintahan Trump. Namun, proses banding ini juga berpotensi memperpanjang ketidakpastian di pasar global.
Dampak pada Pasar Keuangan Global
Pemberlakuan tarif resiprokal oleh Trump telah menyebabkan gejolak signifikan di pasar keuangan dunia. Pasar saham di berbagai negara mengalami volatilitas tinggi, dengan indeks utama seperti S&P 500 dan Nikkei sempat anjlok beberapa persen dalam hitungan hari setelah pengumuman tarif. Sementara itu, pasar cryptocurrency juga terkena dampaknya. Bitcoin, misalnya, mengalami penurunan tajam dan stagnasi selama beberapa pekan sebelum akhirnya pulih ke level US$100 ribu. Para investor khawatir bahwa eskalasi perang dagang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global, terutama di tengah pemulihan pasca-pandemi yang masih rapuh.
Di Indonesia, tarif ini memengaruhi ekspor komoditas utama seperti minyak kelapa sawit dan tekstil ke AS. Asosiasi pengusaha lokal melaporkan bahwa biaya tambahan akibat tarif telah menekan margin keuntungan dan memaksa beberapa perusahaan untuk mencari pasar alternatif. Di sisi lain, ada pula pandangan bahwa keputusan pengadilan ini dapat membuka peluang bagi negara-negara seperti Indonesia untuk menegosiasikan ulang hubungan dagang dengan AS.
Harapan Stabilitas dan Ketidakpastian ke Depan
Keputusan pengadilan ini awalnya disambut positif oleh sebagian pelaku pasar yang berharap adanya de-eskalasi dalam ketegangan perdagangan global. Namun, dengan rencana banding pemerintahan Trump, masa depan kebijakan tarif ini masih jauh dari pasti. Para ekonom memperingatkan bahwa proses hukum yang berlarut-larut dapat mempertahankan ketidakstabilan di pasar keuangan dan perdagangan internasional. Sementara itu, negara-negara yang terkena dampak, termasuk Indonesia, terus memantau perkembangan ini sambil menyiapkan strategi untuk menghadapi skenario terburuk.