Pengangguran Tinggi di China: Kaum Muda Pura-Pura Bekerja untuk Hindari Stigma

8/12/20253 min baca

Shui Zhou, warga China, membayar sebuah perusahaan agar bisa berpura-pura bekerja di kantor setiap hari.
Shui Zhou, warga China, membayar sebuah perusahaan agar bisa berpura-pura bekerja di kantor setiap hari.

Beijing, 12 Agustus 2025 – Di tengah ekonomi yang lesu dan lapangan kerja yang semakin sempit di China, tren baru muncul di kalangan kaum muda: membayar untuk berpura-pura bekerja di kantor tiruan. Fenomena ini, yang semakin populer di kota-kota besar seperti Shenzhen, Shanghai, Nanjing, Wuhan, Chengdu, dan Kunming, menjadi solusi bagi para penganggur untuk menghindari stigma sosial dan tekanan dari keluarga. Menurut data resmi dari Biro Statistik Nasional China, tingkat pengangguran pemuda (usia 16-24 tahun) mencapai 14,2% pada Juni 2025, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 5,2%, menunjukkan kesenjangan generasi yang semakin lebar.

Shui Zhou, seorang warga Dongguan berusia 30 tahun, adalah salah satu contohnya. Setelah bisnis makanannya bangkrut pada 2024, Zhou membayar 30 yuan (sekitar Rp67 ribu) setiap hari untuk "bekerja" di kantor tiruan yang dikelola Pretend To Work Company. Di sana, ia bergabung dengan lima orang lain yang melakukan hal serupa. "Saya merasa sangat bahagia. Rasanya kami seperti bekerja sama sebagai satu kelompok," kata Zhou. Kantor ini dilengkapi komputer, internet, ruang rapat, dan fasilitas minum teh, membuatnya tampak seperti kantor sungguhan.

Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi semakin marak sejak pandemi COVID-19. Berdasarkan laporan dari The Wall Street Journal (2024), lebih dari 20 juta pemuda China mengalami pengangguran jangka panjang, dengan banyak yang memilih "lying flat" atau menyerah pada tekanan kerja. Namun, bagi sebagian, berpura-pura bekerja menjadi cara untuk mempertahankan martabat. Xiaowen Tang, lulusan universitas berusia 23 tahun di Shanghai, membayar biaya sewa harian untuk mendapatkan bukti magang guna memenuhi syarat ijazah. "Kalau mau berpura-pura, berpura-puralah secara sungguh-sungguh," katanya sambil menulis novel daring untuk mencari uang.

Pemilik Pretend To Work Company, Feiyu (nama samaran), berusia 30 tahun, mengaku pernah mengalami depresi setelah bisnis ritelnya gulung tikar saat pandemi. Ia melihat bisnis ini sebagai "eksperimen sosial" yang menjual "martabat" agar pelanggannya tidak dianggap "tidak berguna." Pada April 2025, ia mulai mengiklankan layanannya, dan dalam sebulan, semua meja kerjanya penuh. Pelanggannya mayoritas pekerja lepas, nomaden digital, dan lulusan universitas yang membutuhkan bukti pengalaman kerja. Usia rata-rata mereka sekitar 30 tahun, dengan yang termuda 25 tahun.

Alasan di Balik Tren Ini: Pengangguran dan Ketidakberdayaan

Fenomena ini muncul dari rasa frustrasi akibat kurangnya lapangan kerja. Biao Xiang, Direktur Institut Max Planck untuk Antropologi Sosial di Jerman, mengatakan kepada BBC bahwa "berpura-pura bekerja adalah solusi yang ditemukan kaum muda untuk diri mereka sendiri. Itu menciptakan sedikit jarak dari masyarakat umum dan memberi mereka sedikit ruang." Data dari National Bureau of Statistics China menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pemuda naik menjadi 14,9% pada April 2025, lebih tinggi dari 13,2% pada Maret, dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi dan ketidakcocokan antara pendidikan dan pasar kerja.

Laporan dari The New York Times (2024) menambahkan bahwa ekonomi China sedang mengalami transisi dari pertumbuhan tinggi ke pertumbuhan berkualitas, yang menyebabkan pengurangan lapangan kerja di sektor tradisional. Banyak lulusan universitas, yang jumlahnya mencapai 11,6 juta pada 2024 menurut China Daily, kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Akibatnya, tren "kantor tiruan" menjadi alternatif untuk mengatasi tekanan sosial dan keluarga.

Di sisi lain, Reuters melaporkan bahwa pemerintah China telah meluncurkan inisiatif seperti "Youth Employment Promotion Plan" untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja baru pada 2025, termasuk subsidi untuk startup dan pelatihan vokasi. Namun, tantangan struktural seperti ketidakseimbangan demografi dan perlambatan pertumbuhan GDP (diperkirakan 4,5% pada 2025 oleh IMF) membuat masalah ini sulit diselesaikan dalam waktu singkat.

Dampak Psikologis dan Sosial

Tren ini juga memiliki implikasi psikologis yang dalam. Dr. Li Wei, psikolog dari Peking University, mengatakan kepada South China Morning Post bahwa "berpura-pura bekerja membantu mengurangi stigma pengangguran, tapi bisa memperburuk isolasi sosial jika tidak diikuti dengan pencarian pekerjaan nyata." Di kalangan pelanggan Feiyu, 40% adalah lulusan universitas yang membutuhkan bukti magang untuk ijazah, sementara mayoritas adalah pekerja lepas seperti pengemudi taksi daring atau penulis konten.

Feiyu sendiri ragu bisnis ini akan bertahan lama. "Saya lebih suka melihatnya sebagai eksperimen sosial daripada bisnis jangka panjang," katanya. Namun, bagi pelanggannya seperti Zhou, kantor tiruan ini menjadi tempat untuk membangun keterampilan baru, seperti penggunaan AI, yang semakin dibutuhkan di pasar kerja.

Perbandingan dengan Negara Lain

Fenomena ini mirip dengan "hikikomori" di Jepang, di mana kaum muda menarik diri dari masyarakat karena tekanan kerja, menurut BBC News. Di AS, tren "Great Resignation" pada 2021 menunjukkan pemuda memilih hidup bebas daripada kerja tradisional, tapi di China, tekanan sosial membuat "pura-pura bekerja" menjadi solusi unik.

Kesimpulan

Tren kantor tiruan di China mencerminkan tantangan ekonomi yang dihadapi kaum muda di negara dengan pengangguran pemuda tertinggi di Asia. Dengan bantuan inovasi seperti ini, mereka menemukan cara untuk mempertahankan martabat dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Namun, solusi jangka panjang memerlukan reformasi struktural dari pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih baik dan inklusif.

Image Source: BBC