Perang Dagang AS-China Ancam 1,2 Juta Pekerja Indonesia dengan PHK Massal
Surakarta – Konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang telah berlangsung sejak 2018, kini menjadi ancaman nyata bagi perekonomian Indonesia. Perang dagang ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral kedua negara adidaya tersebut, tetapi juga menimbulkan efek domino yang signifikan terhadap pasar global, termasuk Indonesia. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memperingatkan bahwa fenomena ini dapat menyebabkan 1,2 juta pekerja Indonesia terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Pernyataan tersebut disampaikan dalam Forum Wartawan Industri (Forwin), berdasarkan analisis data dari International Monetary Fund (IMF).
Dampak Tarif terhadap Ekspor Indonesia
Nailul Huda menjelaskan bahwa menurut data IMF, setiap kenaikan tarif sebesar 1% yang diberlakukan AS berpotensi mengurangi impor negara tersebut sebesar 0,8%. Mengingat AS merupakan salah satu tujuan ekspor utama Indonesia, penurunan ini memiliki dampak langsung pada industri dalam negeri. "Kami melakukan perhitungan berdasarkan data tersebut, dan hasilnya menunjukkan bahwa 1,2 juta pekerja di Indonesia berisiko kehilangan pekerjaan. Khusus untuk sektor tekstil, sekitar 191 ribu tenaga kerja berpotensi terkena PHK," ungkapnya.
Sektor tekstil, yang menyumbang sekitar 30% dari total ekspor tekstil Indonesia ke AS dengan nilai mencapai US$5,6 miliar pada 2024 (berdasarkan data Badan Pusat Statistik), menjadi salah satu yang paling terpukul. Penurunan permintaan dari pasar global, khususnya AS, memaksa perusahaan untuk mengurangi produksi. Akibatnya, efisiensi tenaga kerja menjadi langkah yang tak terhindarkan, termasuk melalui pengurangan jumlah pekerja.
Efek Domino pada Berbagai Sektor
Perang dagang ini tidak hanya berdampak pada sektor tekstil. Industri lain seperti elektronik, furnitur, dan alas kaki—yang juga bergantung pada ekspor ke AS—turut merasakan tekanan. Ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh konflik ini meningkatkan risiko perlambatan ekonomi, bahkan resesi, yang dapat memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2025, tingkat pengangguran di Indonesia telah mencapai 5,8%, dengan lebih dari 8 juta orang dalam status pengangguran. Ancaman PHK massal akibat perang dagang berpotensi menambah beban ini secara signifikan.
Penyebab dan Mekanisme Dampak
Penurunan permintaan global menjadi pemicu utama ancaman PHK ini. Ketika pasar ekspor seperti AS mengurangi impor akibat tarif yang lebih tinggi, perusahaan di Indonesia harus menyesuaikan skala produksi mereka. Pengurangan produksi ini sering kali diikuti oleh langkah efisiensi, termasuk pemangkasan tenaga kerja. "Ketika pasar global menurun, produksi ikut turun, dan perusahaan tidak punya pilihan lain selain melakukan pengurangan pekerja untuk tetap bertahan," kata Nailul Huda.
Selain itu, persaingan teknologi dan dominasi ekonomi antara AS dan China juga memperumit situasi. Indonesia, yang masih bergantung pada ekspor komoditas dan produk manufaktur dasar, rentan terhadap gejolak ini karena kurangnya diversifikasi pasar dan daya saing industri.
Upaya Pemerintah Mengatasi Krisis
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menghadapi ancaman ini. Menteri Perdagangan telah mengumumkan rencana untuk mendiversifikasi pasar ekspor ke kawasan Asia Tenggara, Eropa, dan Timur Tengah guna mengurangi ketergantungan pada AS. Selain itu, program reskilling dan pelatihan tenaga kerja sedang dipercepat untuk membantu pekerja yang terdampak PHK beradaptasi dengan sektor lain yang lebih tahan terhadap gejolak global.
Namun, Nailul Huda menegaskan bahwa langkah-langkah ini tidaklah instan. "Diversifikasi pasar membutuhkan waktu, infrastruktur, dan investasi besar. Sementara itu, dampak perang dagang bisa terasa jauh lebih cepat," ujarnya. Ia juga menyarankan agar pemerintah segera memberikan insentif kepada industri yang terdampak, seperti keringanan pajak atau subsidi, serta memperkuat diplomasi perdagangan dengan AS dan China untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.
Tantangan Jangka Panjang
Dalam perspektif global, perang dagang AS-China bukan sekadar soal tarif, tetapi juga pertarungan supremasi teknologi dan ekonomi. Laporan IMF memproyeksikan bahwa konflik yang berkepanjangan ini dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5% dalam dua tahun ke depan. Bagi Indonesia, sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia Tenggara, tantangan ini menuntut strategi jangka panjang, seperti peningkatan nilai tambah produk manufaktur dan pengembangan teknologi dalam negeri, agar tidak terus bergantung pada ekspor komoditas mentah.
Kesimpulan: Krisis yang Membutuhkan Respons Cepat
Perang dagang AS-China telah menjadi ancaman serius bagi Indonesia, dengan potensi PHK massal yang dapat mengguncang stabilitas ekonomi dan sosial. Sebanyak 1,2 juta pekerja, termasuk 191 ribu di sektor tekstil, berada di ujung tanduk. Pemerintah, bersama pelaku industri, harus segera mengambil langkah konkret—mulai dari diversifikasi pasar, pelatihan tenaga kerja, hingga diplomasi perdagangan—untuk meredam dampak buruk ini. Tanpa aksi cepat, Indonesia berisiko menghadapi krisis ketenagakerjaan yang lebih dalam di tengah ketidakpastian global.