Perlambatan Manufaktur dan Konsumsi Indonesia: Tantangan di Balik PDB yang Lonjak 5,1%
Surakarta, 4 November 2025 – Ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan kuat sebesar 5,1% pada kuartal kedua 2025, melampaui ekspektasi pasar dan melanjutkan tren pemulihan pasca-pandemi. Namun, di balik angka PDB yang bullish ini, pelaku bisnis dan ekonom memperingatkan adanya perlambatan signifikan di sektor manufaktur dan konsumsi domestik. Perlambatan ini diperparah oleh penyusutan kelas menengah, PHK massal di industri padat karya, dan ketidakpastian global akibat tarif perdagangan Presiden Donald Trump terhadap mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 3 Oktober 2025, pertumbuhan PDB kuartal II mencapai 5,1%, naik dari 4,9% pada kuartal sebelumnya, didorong oleh stimulus pemerintah dan peningkatan ekspor menjelang pemberlakuan tarif AS. Namun, data BPS juga menunjukkan bahwa kontribusi manufaktur terhadap PDB turun menjadi 18,5% dari 19,2% pada kuartal sebelumnya, sementara konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 54,5% PDB, hanya tumbuh 4,2%, lebih lambat dari 4,8% kuartal I.
Shinta Kamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyatakan kekhawatirannya dalam pertemuan tahunan Apindo di Bandung pada 2 Oktober 2025. "Di ruang rapat, strategi kami bukan lagi ekspansi, melainkan bertahan... bagaimana menghindari PHK, bagaimana menjaga rantai pasok tetap berjalan, dan bagaimana membayar upah," ujar Shinta, seperti dilaporkan Bloomberg. Apindo, yang mewakili mayoritas anggota di industri manufaktur padat karya, menghimbau pemerintah untuk mempercepat deregulasi perizinan dan impor bahan baku untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja bergaji lebih tinggi.
Perlambatan manufaktur ini diperburuk oleh persaingan regional dari Vietnam dan Thailand, yang menawarkan biaya produksi lebih rendah. Menurut World Bank (2025), Indonesia kehilangan 1,5 juta lapangan kerja di manufaktur sejak 2020, dengan PHK massal di sektor tekstil dan elektronik. Sementara itu, penyusutan kelas menengah—dari 52 juta jiwa pada 2019 menjadi 45 juta pada 2024, menurut Bank Dunia—mengurangi daya beli, dengan penjualan mobil turun 15% dan transaksi properti residensial di Jakarta melambat 20% pada 2025, seperti dicatat Colliers Indonesia.
Tarif Trump, yang diberlakukan 19% terhadap Indonesia sejak April 2025, menambah beban. Meskipun tarif ini lebih rendah dari ancaman awal 32%, ekspor Indonesia ke AS turun 5% pada Q2 2025, menurut Kementerian Perdagangan. "Tarif ini membebani rantai pasok, terutama di manufaktur," kata ekonom senior Faisal Basri dari Universitas Indonesia dalam wawancara dengan Tempo.co pada 2 Oktober 2025.
Pemerintahan Prabowo Subianto telah memangkas pengeluaran infrastruktur untuk mengalihkan dana ke program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) senilai US$28 miliar (Rp450 triliun). Meskipun MBG ciptakan 290 ribu lapangan kerja dan libat 1 juta petani, menurut CNN Indonesia, aktivitas pemerintah yang melambat justru memperburuk penurunan konsumsi. "Pertumbuhan kuartal kedua kemungkinan tidak akan bertahan mengingat hambatan eksternal dan rapuhnya pasar tenaga kerja domestik," ujar ekonom ANZ Asia, Krystal Tan, seperti dikutip Bloomberg.
Respons Pengusaha dan Pemerintah
Apindo menghimbau pemerintah mempercepat deregulasi, termasuk perizinan dan impor bahan baku, untuk menarik investasi. Data BKPM menunjukkan FDI Q2 2025 naik 11,5% menjadi Rp477,7 triliun, tapi FDI langsung turun 7% menjadi Rp202,2 triliun. "Kita butuh kebijakan yang mendukung manufaktur untuk bertahan," kata Shinta Kamdani.
Pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menegaskan bahwa tarif 19% masih bisa dikelola. "Dengan 19%, kita kompetitif di ASEAN, setara Malaysia dan Thailand," ujar Airlangga dalam jumpa pers di Bandung, seperti dilaporkan Kompas. Ia juga menjanjikan stimulus tambahan untuk manufaktur, termasuk subsidi energi dan pelatihan tenaga kerja.
Prospek dan Rekomendasi
Menurut IMF (2025), pertumbuhan global melambat ke 3,2%, dengan Indonesia tetap kuat di 4,7%, tapi manufaktur berisiko turun 0,5% jika tarif AS meluas. OECD memperingatkan perlambatan global akibat tarif, dengan AS direvisi 1,8%.
Rekomendasi dari World Bank (2025): tingkatkan digitalisasi UMKM untuk tingkatkan daya saing. Di Indonesia, 65 juta UMKM butuh akses kredit lebih baik untuk bertahan.
Secara keseluruhan, meskipun PDB lonjak, perlambatan manufaktur dan konsumsi menunjukkan tantangan struktural. Dengan deregulasi dan stimulus, pemerintah diharapkan bisa kembalikan momentum.
