Proyeksi CPI AS Turun ke 2,5%, Namun Perang Dagang AS-China Membayangi Stabilitas Ekonomi Global

4/10/20253 min baca

black and silver laptop computer
black and silver laptop computer

Washington D.C., 9 April 2025 – Para pelaku pasar di seluruh dunia tengah bersiap menyambut rilis data Consumer Price Index (CPI) atau indeks harga konsumen Amerika Serikat (AS) yang dijadwalkan dirilis pada Jumat malam, 11 April 2025. Menurut proyeksi terbaru dari Trading Economics pada Rabu (09/04), CPI AS diperkirakan akan turun ke level 2,5%, menurun dari angka sebelumnya sebesar 2,8% pada bulan Maret. Meski angka ini menunjukkan adanya perlambatan inflasi, CPI inti untuk bulan April masih jauh dari target ideal pemerintah AS yang berada di kisaran 2%.

Penurunan CPI: Sinyal Positif atau Hanya Ilusi Sementara?

Secara historis, penurunan CPI sering dianggap sebagai kabar baik bagi perekonomian. Inflasi yang melambat biasanya menjadi indikator bahwa tekanan harga mulai mereda, yang dapat memberikan dampak positif pada berbagai sektor, termasuk pasar saham, mata uang kripto, dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Para investor biasanya mengantisipasi respons dari Federal Reserve (The Fed) berupa kebijakan moneter yang lebih longgar, seperti penurunan suku bunga, yang dapat mendorong kenaikan harga aset berisiko seperti saham dan Bitcoin.

Namun, optimisme ini tampaknya tidak sepenuhnya berlaku pada situasi saat ini. Bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global akibat eskalasi perang dagang AS-China menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan agresif dengan menjatuhkan tarif sebesar 104% pada barang impor dari China. Tak tinggal diam, China langsung membalas dengan menerapkan tarif 84% pada produk-produk asal AS. Kebijakan saling balas tarif ini telah memicu kekhawatiran besar di kalangan pelaku pasar dan analis ekonomi.

Perang Dagang AS-China: Ancaman Nyata bagi Pasar Keuangan

Eskalasi perang dagang ini diprediksi akan mengganggu stabilitas ekonomi global dalam beberapa cara. Pertama, kenaikan tarif impor dapat memicu lonjakan biaya barang di AS, yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan inflasi—membalikkan tren penurunan CPI yang saat ini terlihat. Kedua, gangguan pada rantai pasok global akibat kebijakan ini bisa memperburuk situasi ekonomi, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada perdagangan internasional.

Seorang ekonom dari Bloomberg Economics memperingatkan, “Meskipun data CPI menunjukkan inflasi yang melambat, dampak jangka panjang dari perang dagang bisa memicu kenaikan harga barang konsumsi. Jika ini terjadi, The Fed mungkin akan menunda rencana penurunan suku bunga, yang dapat menekan pasar keuangan secara signifikan.” Situasi ini menempatkan investor pada posisi sulit: di satu sisi, data CPI yang membaik memberikan harapan, tetapi di sisi lain, konflik dagang membawa risiko baru yang sulit diprediksi.

Dampak pada Pasar Saham dan Kripto

Pasar keuangan global langsung merespons ketidakpastian ini. Awal pekan ini, pasar saham AS sempat menguat seiring harapan atas penurunan CPI. Namun, pengumuman tarif terbaru dari Trump dan balasan dari China membuat indeks saham utama berbalik arah dengan penurunan tajam. Sementara itu, aset kripto seperti Bitcoin juga tak luput dari tekanan. Harga Bitcoin turun ke level US$76.000, mencerminkan sentimen negatif yang meluas di kalangan investor.

Para analis pasar menilai bahwa situasi ini menciptakan dilema besar. “Kami melihat dua kekuatan yang bertolak belakang: CPI yang turun memberikan sinyal positif, tetapi perang dagang membawa ancaman inflasi baru. Investor harus ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan,” ujar seorang analis keuangan senior.

Rilis CPI Jumat Ini: Penentu Arah Pasar Jangka Pendek

Semua mata kini tertuju pada rilis resmi data CPI pada Jumat malam. Jika angka CPI ternyata lebih rendah dari proyeksi 2,5%, pasar kemungkinan akan merespons dengan optimisme dalam jangka pendek, mengabaikan sementara ketidakpastian perang dagang. Sebaliknya, jika data menunjukkan hasil yang kurang memuaskan atau perang dagang terus meningkat, dampak negatif pada pasar saham, kripto, dan kepercayaan investor bisa semakin dalam.

Para pelaku pasar disarankan untuk tidak hanya fokus pada angka CPI, tetapi juga memantau perkembangan politik dan ekonomi global, terutama langkah lanjutan dari AS dan China dalam konflik dagang ini. “Ini bukan sekadar soal data inflasi. Konteks geopolitik akan sangat menentukan arah pasar ke depan,” tambah seorang analis.

Kesimpulan

Proyeksi penurunan CPI AS ke 2,5% memang memberikan secercah harapan di tengah tekanan ekonomi. Namun, ancaman dari perang dagang AS-China dengan tarif 104% dan 84% menjadi pengingat bahwa stabilitas pasar keuangan tetap rapuh. Investor di seluruh dunia kini menanti apakah rilis CPI Jumat ini akan menjadi katalis pemulihan atau justru tenggelam dalam bayang-bayang konflik global.