Purbaya Deklarasikan 'Perang' Lawan Importir Nakal: AI Jadi Senjata Utama Berantas Under Invoicing


Surakarta, 17 November 2025 - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan komitmen tegasnya untuk memberantas praktik impor ilegal, khususnya under invoicing—yaitu pencatatan nilai barang impor lebih rendah dari harga sebenarnya guna menghindari pajak dan bea masuk. Dalam berbagai kesempatan, Purbaya menyatakan bahwa teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan menjadi senjata pamungkas untuk memperkuat pengawasan, dengan data impor ditarik langsung ke pusat untuk mendeteksi anomali secara otomatis. "Under invoicing harusnya nanti ketika bisa ambil datanya dari Jakarta. Under invoicing kita pakai AI supaya jalan nanti saya akan tarik ke kantor pusat sehingga kalau main-main lebih susah. Kita akan terapkan dengan sungguh-sungguh," ujar Purbaya, seperti dilansir dari berbagai sumber. Ia bahkan tak ragu untuk mencabut izin impor perusahaan pelaku, terutama yang sudah berstatus perusahaan besar dan dikenal publik, sebagai langkah tegas untuk membersihkan sektor perdagangan internasional Indonesia.
Pernyataan ini muncul pasca-inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Purbaya di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP) Tanjung Perak, Surabaya, pada 13 November 2025. Saat sidak tersebut, Purbaya menemukan indikasi kuat praktik under invoicing pada barang impor, di mana harga yang dicantumkan dalam dokumen impor jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar sebenarnya. Contoh mencolok yang diungkap Purbaya adalah mesin impor yang dilaporkan hanya bernilai Rp117.000, padahal harga jualnya di pasar mencapai Rp35 juta hingga Rp50 juta, bahkan terpampang di platform e-commerce. Setelah dilakukan penilaian ulang oleh tim Bea Cukai, satu kontainer barang impor tersebut menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp220 juta dari pajak dan bea yang seharusnya dibayar. Purbaya menekankan bahwa kualitas barang impor tersebut tidak mencerminkan harga murah yang dicantumkan, melainkan upaya manipulasi yang merugikan negara.
Lebih lanjut, Purbaya mengungkap bahwa pelaku under invoicing bukanlah pemain kecil atau UMKM, melainkan perusahaan besar yang sudah mapan dan dikenal luas oleh masyarakat. "Ini perusahaan besar, kalau ada yang mencoba lagi, saya tidak ragu untuk melarang impor mereka," tegasnya, sambil memperingatkan agar perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi mencoba mengakali nilai barang untuk menghindari kewajiban pajak. Pernyataan ini sejalan dengan deklarasi "perang" terhadap praktik impor ilegal yang disampaikan Purbaya, termasuk di sektor tekstil, di mana ia menargetkan pembersihan menyeluruh untuk melindungi industri dalam negeri. Sidak di Tanjung Perak ini diabadikan dalam video yang diunggah melalui akun TikTok resmi Purbaya pada 13 November 2025, di mana ia secara langsung menunjukkan dokumen impor yang mencurigakan. Video tersebut menjadi viral, menarik perhatian publik atas upaya pemerintah dalam memerangi korupsi di sektor kepabeanan.
Integrasi AI dalam pengawasan impor menjadi poin kunci dalam strategi Purbaya. Ia menjelaskan bahwa sistem berbasis AI akan mempersulit manipulasi data karena seluruh informasi impor akan ditarik dan dianalisis secara terpusat di Jakarta. Teknologi ini diharapkan dapat mendeteksi pola under invoicing secara otomatis, seperti ketidaksesuaian antara harga deklarasi dan harga pasar, serta memprediksi potensi pelanggaran berdasarkan data historis. Langkah ini bagian dari reformasi lebih luas di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang sebelumnya telah mengintegrasikan AI untuk memantau penerimaan negara secara real-time dan menutup celah impor nakal. Purbaya menyatakan bahwa penerapan AI ini akan dilakukan dengan sungguh-sungguh, termasuk kolaborasi dengan tim IT dan hacker lokal untuk menguji ketahanan sistem. Ekonom menilai inisiatif ini positif, karena under invoicing telah merugikan negara hingga miliaran rupiah setiap tahun, terutama di sektor tekstil, elektronik, dan mesin industri.
Dampak praktik under invoicing tidak hanya pada penerimaan negara, tapi juga pada persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan nilai impor yang diremehkan, barang impor bisa dijual lebih murah, merugikan produsen lokal dan menyebabkan PHK di industri dalam negeri. Purbaya memperkirakan kerugian negara dari under invoicing bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, berdasarkan temuan di berbagai pelabuhan. Untuk itu, ia mendorong sosialisasi dan pelatihan bagi petugas Bea Cukai, serta kerjasama dengan lembaga penegak hukum untuk penindakan hukum. Respons dari pelaku usaha beragam; sebagian mendukung sebagai langkah membersihkan pasar, sementara yang lain khawatir atas potensi over-regulation.
Secara keseluruhan, kebijakan Purbaya ini diharapkan menjadi tonggak reformasi fiskal di era pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan fokus pada teknologi untuk transparansi dan efisiensi. Dengan penerapan AI, pemerintah optimistis dapat meningkatkan penerimaan negara dan melindungi ekonomi domestik dari praktik ilegal.
