Pusat Energi Dunia Ingatkan AI Ancam Ketersediaan Listrik di Masa Depan

6/9/20253 min baca

brown wooden hallway with gray metal doors
brown wooden hallway with gray metal doors

Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi pendorong utama inovasi di berbagai sektor, tetapi di balik manfaatnya, ada ancaman serius terhadap ketersediaan listrik global. Menurut analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA), pusat data di seluruh dunia telah mengonsumsi 415 terawatt-jam (TWh) listrik pada tahun 2024, setara dengan sekitar 1,5% dari total konsumsi listrik global. Di Amerika Serikat (AS), server yang didedikasikan untuk AI menyumbang lebih dari 24% penggunaan listrik di pusat data pada tahun yang sama. Permintaan listrik yang melonjak ini dipicu oleh kebutuhan daya komputasi yang besar untuk melatih dan menjalankan model AI yang semakin canggih.

IEA memperingatkan bahwa jika tren ini berlanjut tanpa intervensi, pusat data di AS saja akan membutuhkan hingga 945 TWh listrik pada tahun 2030, hampir dua kali lipat dari konsumsi saat ini. Lonjakan permintaan ini tidak hanya mengancam stabilitas pasokan listrik, tetapi juga dapat membebani infrastruktur energi yang ada, berpotensi menyebabkan kenaikan tagihan listrik, pemadaman listrik, hingga krisis energi yang lebih luas.

Tekanan pada Infrastruktur Energi

Badan Energi Internasional menyoroti bahwa meningkatnya kebutuhan energi untuk AI dapat memberikan tekanan signifikan pada infrastruktur energi global. Pada tahun 2030, pusat data global diperkirakan akan mengonsumsi 945 TWh listrik, dengan AI sebagai faktor utama di balik pertumbuhan ini. Di AS, pusat data diperkirakan akan menyumbang hampir setengah dari pertumbuhan permintaan listrik antara 2024 dan 2030, melampaui konsumsi listrik gabungan dari industri berat seperti baja, semen, dan kimia.

Dampak dari lonjakan permintaan ini bisa sangat serius:

  • Kenaikan Tagihan Listrik: Biaya operasional pusat data yang lebih tinggi kemungkinan akan diteruskan kepada konsumen, menyebabkan tagihan listrik rumah tangga dan bisnis melonjak.

  • Pemadaman Listrik: Infrastruktur jaringan listrik yang ada mungkin tidak mampu menangani beban tambahan, meningkatkan risiko pemadaman listrik yang lebih sering dan lama.

  • Krisis Energi: Dalam skenario terburuk, kekurangan pasokan listrik dapat memicu krisis energi yang meluas, terutama di wilayah dengan konsentrasi pusat data yang tinggi seperti Virginia Utara atau Silicon Valley.

Proyeksi Goldman Sachs dan Tantangan ke Depan

Goldman Sachs juga memberikan proyeksi serupa yang mengkhawatirkan. Dalam laporan mereka, pusat data AI diperkirakan akan menghabiskan 165% lebih banyak listrik pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2024. Saat ini, pusat data global mengonsumsi 1-2% dari total daya listrik dunia, tetapi angka ini bisa meningkat menjadi **3-4% pada akhir dekade ini. Di AS, permintaan listrik dari pusat data diperkirakan akan tumbuh sebesar 160% pada tahun 2030, didorong oleh ekspansi AI, layanan cloud, dan teknologi terkait.

Namun, pertumbuhan ini menghadapi sejumlah tantangan besar:

  • Infrastruktur yang Terbatas: Jaringan listrik di banyak wilayah belum siap untuk mendukung lonjakan permintaan ini. IEA mencatat bahwa 20% proyek pusat data berisiko tertunda karena kendala jaringan.

  • Ketergantungan pada Energi Fosil: Meskipun ada upaya untuk beralih ke energi terbarukan, IEA memperkirakan bahwa setengah dari pertumbuhan permintaan listrik pusat data akan dipenuhi oleh gas alam, yang dapat menghambat target dekarbonisasi global.

  • Kebutuhan Investasi Besar: Goldman Sachs memperkirakan bahwa US$720 miliar diperlukan untuk meningkatkan infrastruktur listrik AS guna mendukung pertumbuhan ini hingga 2030.

Potensi AI dalam Transformasi Energi

Di sisi lain, AI juga memiliki potensi untuk membantu sektor energi. IEA menunjukkan bahwa AI dapat digunakan untuk mengoptimalkan jaringan listrik, meningkatkan efisiensi energi, dan mempercepat pengembangan teknologi bersih. Sebagai contoh, AI dapat membuka 175 gigawatt (GW) kapasitas transmisi jaringan tanpa memerlukan pembangunan jalur baru, serta menghemat energi setara dengan konsumsi tahunan Meksiko melalui optimalisasi proses industri.

Meski begitu, potensi ini tidak dapat sepenuhnya mengimbangi tantangan yang ada:

  • Konsumsi Energi yang Melonjak: IEA memproyeksikan bahwa konsumsi listrik pusat data global bisa mencapai 1.000 TWh pada tahun 2026, setara dengan kebutuhan listrik Jepang.

  • Tantangan Energi Terbarukan: Meskipun perusahaan teknologi seperti Google dan Microsoft berkomitmen untuk menggunakan energi hijau, pasokan energi terbarukan yang fluktuatif sulit dicocokkan dengan kebutuhan pusat data yang konstan.

Ancaman Nyata dan Solusi yang Diperlukan

Para ahli, termasuk Alex de Vries dari VU Amsterdam, memperingatkan bahwa konsumsi listrik pusat data dapat mencapai beberapa persen dari total konsumsi listrik global dalam waktu dekat, yang berpotensi mengganggu pencapaian tujuan iklim. Untuk mengatasi ancaman ini, IEA menyarankan beberapa langkah strategis:

  • Investasi dalam Infrastruktur: Pemerintah dan sektor swasta perlu mempercepat pembangunan pembangkit listrik dan jaringan distribusi.

  • Efisiensi Pusat Data: Perusahaan teknologi harus mengadopsi teknologi hemat energi dan mengelola server secara lebih fleksibel untuk mengurangi tekanan pada jaringan.

  • Kolaborasi Lintas Sektor: Dialog antara pembuat kebijakan, industri teknologi, dan penyedia energi sangat penting untuk merencanakan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Kesimpulan

AI menawarkan peluang besar, tetapi juga membawa risiko signifikan terhadap ketersediaan listrik di masa depan. Dengan proyeksi permintaan listrik pusat data yang melonjak hingga 945 TWh di AS pada tahun 2030, dunia harus bertindak cepat untuk memperkuat infrastruktur energi. Tanpa langkah proaktif, ancaman kenaikan tagihan, pemadaman listrik, dan krisis energi dapat menjadi kenyataan yang sulit dihindari.