Riset LPEM UI: Ekonomi Indonesia Melambat, 7 Juta Orang Menganggur

6/14/20253 min baca

person wearing black coat close-up photography
person wearing black coat close-up photography

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) melaporkan bahwa ekonomi Indonesia mengalami perlambatan sejak awal tahun ini. Kondisi ini telah menyebabkan tergerusnya kelas menengah dan penurunan daya beli masyarakat, yang menjadi indikator penting stabilitas ekonomi nasional. Penurunan ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga mencerminkan tantangan struktural yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang.

Penyebab Utama: Penurunan Sektor Manufaktur

Salah satu faktor utama di balik perlambatan ekonomi ini adalah menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur. Sektor ini, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, menyumbang sekitar 20% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2025, sektor manufaktur mengalami kontraksi sebesar 1,2%, yang disebabkan oleh penurunan permintaan global dan gangguan rantai pasok pasca-pandemi. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja berkurang signifikan, dan produktivitas cenderung stagnan.

Menurut riset LPEM UI, dari total 153 juta penduduk usia kerja, hanya 145 juta yang terserap ke dalam pasar tenaga kerja. Ini berarti ada 7 juta orang yang menganggur. Lebih mengkhawatirkan lagi, dari 96,4 juta pekerja penuh waktu, sebanyak 66,1% atau sekitar 63,7 juta orang tidak bekerja dalam seminggu terakhir. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak pekerja dirumahkan atau bekerja secara bergantian, yang mencerminkan ketidakstabilan di pasar tenaga kerja.

Kondisi Pengangguran dan Pilihan untuk Tidak Bekerja

Data lebih lanjut dari riset LPEM UI mengungkapkan bahwa 63 juta orang usia produktif memilih untuk tidak bekerja. Alasan utamanya adalah kurang menariknya bursa tenaga kerja dan ketidakfleksibelan gaji yang ditawarkan perusahaan. Hal ini diperparah oleh persyaratan kerja yang ketat dan kurangnya peluang yang sesuai dengan harapan pekerja. Menurut survei Sakernas 2025 dari BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) berada di 4,76%, yang tampaknya rendah. Namun, angka ini tidak mencerminkan realitas penuh, karena banyak pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur atau bekerja di bawah kapasitas.

Laporan dari Bank Dunia (2025) juga menyoroti bahwa perlambatan ekonomi global, termasuk ketegangan geopolitik dan kenaikan suku bunga di negara-negara maju, turut memengaruhi ekspor Indonesia. Ekspor produk manufaktur dan komoditas turun sebesar 3,5% year-on-year pada kuartal pertama 2025, menurut Kementerian Perdagangan. Hal ini semakin memperburuk kondisi sektor manufaktur dan daya serap tenaga kerjanya.

Dampak pada Kelas Menengah dan Daya Beli

Perlambatan ekonomi ini berdampak nyata pada kelas menengah Indonesia. Survei Nielsen (2025) mencatat bahwa daya beli masyarakat turun sebesar 15% dibandingkan tahun sebelumnya. Inflasi yang mencapai 4,2% pada Mei 2025, akibat kenaikan harga pangan dan energi, menjadi salah satu pemicunya. Banyak pekerja dari sektor manufaktur yang kehilangan pekerjaan terpaksa beralih ke sektor informal, yang menawarkan pendapatan lebih rendah dan ketidakpastian yang lebih tinggi.

Kondisi ini juga menciptakan lingkaran setan: menurunnya daya beli mengurangi permintaan domestik, yang pada gilirannya memperburuk kinerja sektor manufaktur dan ekonomi secara keseluruhan. Ekonom senior Faisal Basri dari Universitas Indonesia memperingatkan bahwa tanpa intervensi yang tepat, kelas menengah berisiko terus tergerus, yang dapat memicu ketidakstabilan sosial.

Tantangan dari Sisi Perusahaan

Dari perspektif perusahaan, banyak pelaku industri manufaktur terpaksa mengurangi jam kerja atau merumahkan pekerja akibat penurunan permintaan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2025, sebanyak 1,2 juta pekerja formal mengalami pengurangan jam kerja atau dirumahkan sementara. Sistem kerja bergantian menjadi solusi sementara bagi beberapa perusahaan untuk mempertahankan karyawan, tetapi ini tidak cukup untuk menstabilkan pendapatan pekerja.

Di sisi lain, calon pekerja sering kali menolak tawaran pekerjaan karena gaji yang tidak kompetitif atau kondisi kerja yang kurang fleksibel. Hal ini menciptakan kesenjangan antara kebutuhan tenaga kerja perusahaan dan ketersediaan pekerja yang bersedia mengisi posisi tersebut.

Upaya Pemerintah dan Rekomendasi

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah awal untuk mengatasi krisis ini, seperti meluncurkan program pelatihan vokasi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja dan memberikan subsidi upah untuk mendukung daya beli. Namun, para ahli menilai bahwa langkah ini belum cukup. Laporan World Economic Forum (2025) menyarankan agar Indonesia mempercepat transformasi digital dan berinvestasi pada sektor teknologi untuk menciptakan lapangan kerja baru yang relevan dengan pasar global.

Selain itu, reformasi struktural seperti deregulasi untuk menarik investasi asing dan diversifikasi ekonomi ke sektor-sektor yang lebih tahan terhadap fluktuasi global menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa perubahan mendasar, ekonomi Indonesia berisiko tetap terjebak dalam pertumbuhan yang lambat.

Kesimpulan

Perlambatan ekonomi Indonesia, yang ditandai dengan penurunan kinerja sektor manufaktur, telah menyebabkan 7 juta orang menganggur dan jutaan lainnya bekerja dalam kondisi tidak stabil. Dampaknya terhadap kelas menengah dan daya beli masyarakat menunjukkan perlunya solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini dan mencegah dampak yang lebih luas di masa depan.