Rupiah Anjlok ke 16.627 per Dolar AS, Terendah Sejak Krisis 1998
Jakarta – Nilai tukar Rupiah kembali terperosok pada hari ini, Selasa (25/03), dengan penurunan sebesar 0,35% ke level 16.627 per dolar Amerika Serikat (AS), menurut data Bloomberg. Angka ini membawa Rupiah mendekati titik terlemah sejak krisis moneter 1998, sekaligus mencatatkan pelemahan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Tekanan dari penguatan dolar AS dan ketidakpastian global menjadi pemicu utama di balik tren ini.
Dolar Menguat Akibat Kebijakan Tarif Trump
Pelemahan Rupiah tidak lepas dari kekuatan dolar AS yang terus mendominasi pasar global. Penguatan ini didorong oleh kebijakan perdagangan Presiden AS, Donald Trump, yang berhati-hati menerapkan tarif pada sejumlah negara. Langkah proteksionis tersebut meningkatkan daya tarik dolar sebagai aset safe haven, sekaligus memberikan tekanan besar pada mata uang negara berkembang seperti Rupiah.
Ketidakpastian Global dan Dampak Regional
Selain kebijakan Trump, ketidakpastian kondisi global turut memperburuk situasi. Gejolak geopolitik dan volatilitas ekonomi dunia mendorong investor beralih ke dolar, meninggalkan mata uang emerging markets dalam posisi rentan. Tidak hanya Rupiah, mayoritas mata uang Asia lainnya juga terdampak. Misalnya, Ringgit Malaysia dan Won Korea Selatan turut melemah pada hari yang sama, mencerminkan tekanan regional yang meluas.
Dampak bagi Indonesia
Pelemahan Rupiah ke level 16.627 per dolar AS menimbulkan sejumlah konsekuensi bagi perekonomian Indonesia, di antaranya:
Kenaikan Harga Impor: Barang dan jasa impor menjadi lebih mahal, berpotensi memicu inflasi.
Utang Luar Negeri: Beban pembayaran utang dalam dolar meningkat, terutama bagi perusahaan swasta dan pemerintah.
Sentimen Pasar: Kepercayaan investor bisa terguncang jika Rupiah terus merosot, memicu risiko outflow modal.
Namun, ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan. Ekspor Indonesia, seperti minyak sawit dan batubara, berpotensi lebih kompetitif di pasar internasional karena harga dalam dolar yang lebih rendah.
Langkah Antisipasi
Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan melakukan intervensi untuk menahan laju pelemahan Rupiah, baik melalui pasar valas maupun penyesuaian kebijakan moneter. Meski demikian, dengan tekanan global yang terus berlangsung, upaya stabilisasi ini mungkin hanya bersifat sementara.
Seorang analis ekonomi menyatakan, “Rupiah berada di ujung tanduk. Jika mendekati 17.000, tekanan psikologis di pasar akan semakin kuat, dan respons cepat dari otoritas moneter sangat dibutuhkan.”
Tantangan ke Depan
Dengan posisi saat ini, Rupiah menghadapi ujian berat di tengah gejolak ekonomi dunia. Apakah mata uang ini akan melampaui level terlemahnya pada 1998? Perkembangan kebijakan global dan langkah BI akan menjadi penentu utama.