Rupiah Melemah ke 16.712 per Dolar AS Jelang Tarif Baru Trump: Inflasi Asia Kembali Mengintai?
Jakarta – Nilai tukar Rupiah kembali merosot tajam ke level 16.712 per dolar Amerika Serikat (AS) pada hari Rabu (02/04), menurut data terbaru dari Bloomberg Currency. Penurunan ini terjadi di tengah ketidakpastian pasar global yang dipicu oleh antisipasi pengumuman tarif perdagangan baru oleh Presiden AS, Donald Trump, yang dijadwalkan dalam waktu dekat. Tarif tersebut diyakini sebagai langkah strategis Trump untuk memangkas defisit perdagangan AS dengan mitra dagang utamanya, sebuah kebijakan yang kini mengguncang stabilitas mata uang di berbagai belahan dunia, termasuk Asia.
Pelemahan Rupiah kali ini melanjutkan tren buruk yang telah berlangsung sepekan sebelumnya, ketika mata uang Indonesia anjlok 0,35% ke level 16.627 per dolar AS. Angka tersebut membawa Rupiah mendekati titik terendah sejak krisis moneter 1998, yang pernah membuat ekonomi Indonesia terpuruk dengan nilai tukar mencapai 16.800 per dolar AS. Kini, dengan tekanan baru dari kebijakan proteksionis AS, kekhawatiran akan krisis serupa mulai menghantui pelaku pasar.
Gelombang Pelemahan Mata Uang Asia
Tidak hanya Rupiah yang terdampak, mayoritas mata uang Asia lainnya juga mengalami tekanan serupa terhadap dolar AS. Data menunjukkan ringgit Malaysia turun 0,4%, baht Thailand melemah 0,02%, yen Jepang kehilangan 0,15%, dan lira Turki terdepresiasi hingga 0,07%. Fenomena ini mencerminkan kecemasan regional terhadap dampak kebijakan tarif Trump, yang diperkirakan akan menargetkan negara-negara dengan surplus perdagangan signifikan terhadap AS, termasuk beberapa negara di Asia Tenggara.
Tarif Trump: Pemicu Ketidakpastian Global
Pengumuman tarif baru ini merupakan bagian dari agenda ekonomi Trump untuk melindungi industri domestik AS dan mengurangi ketergantungan pada impor. Namun, langkah ini justru memicu reaksi berantai di pasar global. Negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand, yang menjadi eksportir besar ke AS, kemungkinan akan menjadi sasaran utama. Indonesia, meski tidak masuk dalam daftar teratas, tetap rentan karena ekspornya ke AS—seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik—berpotensi terkena dampak tarif yang lebih tinggi.
Seorang analis ekonomi dari Bank Mandiri, Dedi Santoso, memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. “Tarif yang diberlakukan Trump akan meningkatkan biaya ekspor, yang pada akhirnya bisa menekan permintaan global. Ini akan berdampak pada negara-negara yang bergantung pada perdagangan internasional, termasuk Indonesia,” ungkapnya dalam wawancara terbaru.
Dampak Lokal: Ancaman Inflasi dan Beban Utang
Di dalam negeri, pelemahan Rupiah membawa konsekuensi serius. Harga barang impor diprediksi akan melonjak, mulai dari bahan baku industri hingga produk konsumen seperti elektronik dan pangan olahan. Kenaikan harga ini berpotensi memicu inflasi, yang akan menggerus daya beli masyarakat. Selain itu, perusahaan-perusahaan dengan utang dalam dolar AS akan menghadapi beban pembayaran yang lebih berat, meningkatkan risiko gagal bayar di sektor swasta.
Namun, ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan. Sektor ekspor Indonesia, khususnya komoditas seperti minyak sawit, batubara, dan karet, berpotensi menjadi lebih kompetitif di pasar global karena harga dalam dolar AS menjadi lebih murah. Meski demikian, para ahli menilai keuntungan ini mungkin tidak cukup untuk mengimbangi dampak negatif yang lebih luas, terutama jika permintaan dunia menurun akibat perang dagang.
Bayang-Bayang Krisis 1998
Pelemahan Rupiah ke level yang mendekati rekor 1998 membangkitkan kenangan kelam akan krisis moneter yang melanda Indonesia lebih dari dua dekade lalu. Saat itu, nilai tukar yang anjlok disertai inflasi melonjak dan gejolak sosial yang masif. Namun, kondisi saat ini dinilai berbeda. Cadangan devisa Indonesia kini lebih kuat, mencapai USD 150 miliar per Februari 2023, ditambah dengan regulasi keuangan yang lebih matang. Meski begitu, jika tekanan eksternal terus berlanjut tanpa respons yang cepat, risiko eskalasi tetap mengintai.
Respons Pemerintah dan Bank Indonesia
Menghadapi situasi ini, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan kembali turun tangan untuk menstabilkan Rupiah. Langkah-langkah seperti intervensi di pasar valuta asing dan kenaikan suku bunga acuan menjadi opsi yang mungkin diambil. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat diplomasi ekonomi dengan AS untuk memitigasi dampak tarif tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa pemerintah akan terus memantau situasi dan menyiapkan langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Proyeksi dan Tantangan ke Depan
Dengan pengumuman tarif Trump yang kian mendekat, volatilitas Rupiah diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa pekan ke depan. Pelaku pasar dan investor disarankan untuk tetap waspada terhadap perkembangan kebijakan AS serta respons dari negara-negara Asia lainnya. Bagi Indonesia, mempertahankan fundamental ekonomi yang kuat dan meningkatkan daya saing ekspor menjadi kunci untuk menghadapi gelombang ketidakpastian ini.