Rupiah Melemah ke Rp16.397 per Dolar AS di Tengah Konflik AS-Iran dan Ketidakpastian Global
Jakarta, 22 Juni 2025 – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada level Rp16.397 per dolar AS pada hari ini, turun dari posisi sebelumnya di Rp16.372. Pelemahan ini terjadi di tengah memanasnya konflik geopolitik di Timur Tengah, yang melibatkan AS dan Iran, serta ketidakpastian global yang terus berlanjut. Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa keterlibatan AS dalam konflik Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, telah memicu gejolak ekonomi global yang signifikan. “Pasca tensi geopolitik di Timur Tengah memanas antara Israel dan Iran serta keterlibatan pihak ketiga yaitu AS, maka gejolak ekonomi global kembali menunjukkan taringnya,” ujar Ibrahim, melansir IDX Channel.
Selain faktor geopolitik, pasar keuangan juga terguncang oleh pernyataan Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, yang menegaskan bahwa bank sentral AS tidak akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Pernyataan ini memperkuat ekspektasi pasar bahwa suku bunga AS akan tetap tinggi, yang pada gilirannya mendukung penguatan dolar AS dan memberi tekanan pada mata uang negara berkembang seperti rupiah. “Indonesia tengah berada dalam pusaran ketidakpastian global yang kompleks. Pergeseran struktural ekonomi dunia menuntut ketahanan domestik yang kuat, respons kebijakan yang adaptif, dan koordinasi yang solid antara lembaga fiskal, moneter, dan sektor riil,” tambah Ibrahim.
Konteks Ekonomi Global: Konflik AS-Iran dan Dampaknya
Konflik antara AS dan Iran telah memasuki fase baru yang kritis, dengan AS dilaporkan terlibat langsung dalam operasi militer di Timur Tengah pasca keputusan Presiden Donald Trump untuk bergabung dalam konflik tersebut. Ketegangan ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak global, yang berpotensi mendorong inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Menurut laporan dari VOI, ketidakpastian yang disebabkan oleh konflik ini telah memicu pelemahan mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia. “Ketidakpastian yang terus berlanjut atas tarif perdagangan AS, setelah Presiden Donald Trump tidak memiliki rencana segera untuk membuka dialog dengan mitranya dari Tiongkok Xi Jinping, turut memperburuk situasi,” tulis VOI.
Dalam konteks ini, rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling terdampak. Postingan di platform X mencerminkan kekhawatiran pasar, dengan salah satu akun menulis, “Rupiah Tertekan ke Rp16.406 di Tengah Ancaman Serangan AS ke Iran,” menunjukkan sentimen negatif yang meluas di kalangan investor. Selain itu, eskalasi konflik telah mendorong investor global untuk beralih ke aset safe-haven seperti dolar AS dan emas, yang semakin memperkuat mata uang AS dan menekan rupiah.
Kebijakan The Fed dan Dampaknya pada Pasar Keuangan
Pernyataan Jerome Powell yang menegaskan tidak adanya rencana pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat menjadi pukulan tambahan bagi mata uang emerging markets. Kebijakan moneter AS yang hawkish ini diperkirakan akan mempertahankan tekanan pada rupiah. “Pasar juga terguncang oleh komentar agresif dari The Federal Reserve,” kata Ibrahim.
Menurut VOI, pasar keuangan global kini berada dalam kondisi yang sangat sensitif, dengan investor menunggu keputusan suku bunga dari bank sentral utama seperti The Fed, Bank of Japan, dan Bank Indonesia. “Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi dapat memicu capital outflow dari Indonesia, yang pada akhirnya akan menekan rupiah lebih jauh,” tulis VOI.
Faktor Domestik: Tantangan Ekonomi Indonesia
Di sisi domestik, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang tidak kalah kompleks. Data dari VOI menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 melambat ke 4,87% (yoy) dan terkontraksi 0,89% (qtq). “Meski terjadi kontraksi secara kuartalan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan terus memantau perkembangan ekonomi pada triwulan berikutnya,” tulis VOI.
Selain itu, postingan di X menyoroti bahwa “Rupiah Diramal Jadi Rp16.400/US$ Akhir 2025” akibat memanasnya situasi di Timur Tengah, yang menunjukkan ekspektasi pasar yang pesimistis terhadap prospek rupiah dalam jangka pendek.
Langkah Antisipatif Pemerintah dan Bank Indonesia
Menghadapi situasi ini, Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan rupiah. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa bank sentral akan terus memantau situasi global dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas. “Kami akan terus melakukan koordinasi aktif dengan pemerintah untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, tanpa mengorbankan kepentingan nasional Indonesia,” ujar Perry.
Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia tidaklah mudah. “Dengan menjaga komunikasi publik yang efektif dan menjaga kepercayaan pelaku usaha, pemerintah dinilai dapat meminimalkan gejolak yang muncul akibat tekanan domestik maupun eksternal,” tulis VOI.
Proyeksi dan Dampak Jangka Panjang
Para analis memprediksi bahwa rupiah akan terus bergerak fluktuatif dalam jangka pendek, dengan potensi pelemahan lebih lanjut jika konflik AS-Iran tidak segera mereda. Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.440 - Rp16.500 per dolar AS dalam waktu dekat. Sementara itu, postingan di X memperingatkan bahwa “Efek Serangan AS ke Iran: Harga Minyak Terancam Naik dan Rupiah Tertekan,” menunjukkan bahwa dampak konflik ini akan dirasakan dalam berbagai aspek ekonomi.
Dalam jangka panjang, ketidakpastian global yang dipicu oleh konflik geopolitik dan kebijakan moneter AS dapat memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, koordinasi yang solid antara pemerintah, bank sentral, dan sektor riil menjadi krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik.