Rupiah Melemah ke Rp16.456 dan IHSG Anjlok ke 6.782 di Tengah Eskalasi Konflik Timur Tengah

6/23/20252 min baca

person in green shirt holding white plastic pack
person in green shirt holding white plastic pack

Jakarta, 23 Juni 2025 – Pasar keuangan Indonesia kembali didera gejolak pada Senin (23/06) pagi. Nilai tukar rupiah melemah ke Rp16.456 per dolar Amerika Serikat (AS), turun dari Rp16.396 pada penutupan sebelumnya, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles ke level 6.782. Penurunan ini dipicu oleh eskalasi konflik di Timur Tengah yang melibatkan AS, Iran, dan Israel, memicu lonjakan harga minyak global dan ketidakpastian di pasar keuangan dunia.

Rupiah Tertekan oleh Sentimen Global

Data dari Bloomberg Exchange Rate menunjukkan bahwa pelemahan rupiah terjadi seiring penguatan dolar AS, yang menjadi aset safe-haven di tengah ketegangan geopolitik. "Konflik di Timur Tengah telah meningkatkan volatilitas pasar, dan rupiah sebagai mata uang negara berkembang sangat rentan terhadap tekanan eksternal," kata Ibrahim Assuaibi, pengamat pasar uang, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.

Secara historis, rupiah telah mengalami fluktuasi signifikan. Menurut Statista, rata-rata nilai tukar rupiah pada 2023 adalah Rp15.416 per USD, menunjukkan tren pelemahan yang berlanjut hingga kini. Bank Indonesia (BI) dilaporkan telah melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menahan laju depresiasi, namun dampaknya terbatas akibat sentimen negatif global. "Kami akan terus memantau situasi dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga stabilitas," ujar juru bicara BI dalam pernyataan resmi.

IHSG Terpuruk Akibat Risk-Off Investor

Penurunan IHSG ke 6.782 mencerminkan sentimen risk-off yang melanda pasar saham Asia. Yahoo Finance melaporkan bahwa indeks ini telah turun lebih dari 5% dalam sebulan terakhir, dengan sektor pertambangan dan energi menjadi yang paling terpukul akibat ketidakpastian harga komoditas. "Investor cenderung menarik dana dari aset berisiko seperti saham menuju instrumen yang lebih aman seperti emas dan dolar AS," ungkap Reza Priyambada, analis BNI Sekuritas.

Data historis dari IDX Composite menunjukkan bahwa IHSG sering kali bereaksi tajam terhadap gejolak global, termasuk pergerakan indeks Dow Jones dan nilai tukar rupiah. Laporan dari Journal of Accounting and Strategic Finance juga mencatat bahwa volatilitas IHSG sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yang kini diperparah oleh konflik Timur Tengah.

Konflik Timur Tengah Memicu Kekhawatiran Pasokan Minyak

Eskalasi dimulai ketika Presiden AS Donald Trump memerintahkan serangan untuk melumpuhkan tiga situs nuklir utama Iran pada Minggu (22/06). Iran membalas dengan menyerang Bandara Ben Gurion di Israel, menyatakan bahwa mereka "tidak akan menyerah" dalam menghadapi tekanan AS. Menurut Reuters, ketegangan ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak dari Teluk Persia, kawasan yang menyumbang sekitar 20% produksi minyak dunia.

Harga minyak mentah Brent melonjak 5,7% menjadi US$81,40 per barel di pasar Asia pagi ini, sebelum memangkas sebagian kenaikan tersebut. International Energy Agency (IEA) memperingatkan bahwa eskalasi lebih lanjut bisa mendorong harga minyak melampaui US$85 per barel, yang berpotensi memicu inflasi global. "Ketidakstabilan di Timur Tengah selalu menjadi katalis utama pergerakan harga minyak," tulis Bloomberg dalam analisis terbarunya.

Dampak pada Pasar Global

Di pasar saham global, indeks S&P 500 kini berada 3% di bawah titik tertingginya sejak Februari, menurut Investopedia. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor akan dampak konflik terhadap ekonomi dunia. Sementara itu, dolar AS menguat lebih dari 1%, didukung oleh aliran modal ke aset safe-haven. "Pasar sedang mencerna risiko geopolitik yang meningkat, dan ini terlihat dari pergerakan dolar dan obligasi AS," kata analis pasar dari FXStreet.

Outlook dan Rekomendasi

Para ekonom memprediksi volatilitas pasar akan berlanjut jika konflik tidak mereda. Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia, menekankan perlunya koordinasi antara pemerintah dan BI untuk mengelola dampak ekonomi. "Indonesia harus memperkuat fundamental domestik dan mengurangi ketergantungan pada faktor eksternal seperti harga minyak," ujarnya.

Di sisi kebijakan, BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas rupiah, meskipun ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Investor disarankan untuk diversifikasi portofolio dengan aset seperti emas atau obligasi pemerintah guna mengurangi risiko. Perkembangan di Timur Tengah dan respons pasar global akan tetap menjadi kunci dalam menentukan arah ekonomi Indonesia ke depan.