Rupiah Terancam Anjlok ke Level Krisis 1998, Analis Peringatkan Potensi Jatuh ke 17.000 per Dolar AS
Jakarta – Nilai tukar rupiah kembali berada di ujung tanduk, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar. Analis dari Mizuho Bank dan MUFG Bank memperingatkan bahwa rupiah berpotensi anjlok hingga 16.950 per dolar AS, mendekati level terendah yang pernah tercatat pada krisis finansial Asia 1998. Bahkan, jika tekanan berlanjut, angka 17.000 per dolar AS bukan lagi hal yang mustahil. Data terbaru menunjukkan bahwa pada Rabu (26/03) pagi, rupiah sudah melemah ke level 16.611 per dolar AS, menandakan tren penurunan yang kian mengkhawatirkan.
Peringatan dari Analis: Rupiah di Ambang Bahaya
Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho Bank, Vishnu Varathan, mengungkapkan bahwa pelemahan ini bisa menjadi lebih parah jika tidak segera ditangani. “Level 16.800 untuk rupiah adalah risiko jangka pendek jika tidak ditanggulangi. Di luar itu, 17.000 mungkin adalah level berikutnya yang ditargetkan,” ujarnya, seperti dikutip dari Bloomberg. Peringatan ini menjadi sinyal kuat bahwa otoritas moneter perlu bertindak cepat untuk mencegah skenario terburuk.
Sementara itu, Ahli Strategi FX di MUFG Bank, Lloyd Chan, menyoroti faktor eksternal yang dapat memperburuk situasi. Ia menyebutkan bahwa rupiah berpotensi jatuh melebihi 17.000 per dolar AS jika Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan kebijakan tarif yang tidak terduga pada April mendatang. Kebijakan proteksionis Trump telah lama menjadi ancaman bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, karena mendorong penguatan dolar AS sebagai aset safe haven.
Faktor Domestik: Kepercayaan Investor Menurun
Di dalam negeri, sentimen pasar juga memperparah tekanan terhadap rupiah. Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menilai bahwa berkurangnya kepercayaan investor terhadap bursa saham Indonesia menjadi salah satu pemicu utama. “Kepercayaan investor terhadap bursa saham dalam negeri turut memberikan tekanan ke rupiah. Pesimisme pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri terefleksi di pergerakan indeks saham BEI,” katanya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang lesu menjadi cermin dari ketidakpastian yang dirasakan investor, baik lokal maupun asing.
Selain itu, aksi jual saham dan obligasi domestik oleh investor asing semakin memperburuk situasi. Outflow modal yang signifikan telah memicu volatilitas di pasar keuangan, yang pada akhirnya menambah beban bagi rupiah. Ketidakpastian ini juga diperparah oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat, terutama di tengah tantangan global seperti fluktuasi harga komoditas dan ketegangan geopolitik.
Bayang-Bayang Krisis 1998: Seberapa Besar Risikonya?
Krisis finansial Asia 1998 menjadi momen kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Saat itu, rupiah anjlok hingga 16.950 per dolar AS, disertai hiperinflasi, kolapsnya sektor perbankan, dan gejolak sosial yang meluas. Kini, dengan rupiah yang kembali mendekati level tersebut, banyak pihak bertanya: apakah sejarah akan terulang? Meskipun fundamental ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat—dengan cadangan devisa di atas USD 140 miliar dan regulasi keuangan yang lebih baik—risiko tetap ada. Jika tekanan eksternal seperti kebijakan tarif Trump berlanjut, dan kepercayaan investor terus terkikis, skenario krisis serupa bukanlah hal yang mustahil.
Dampak Nyata bagi Perekonomian
Jika prediksi analis menjadi kenyataan dan rupiah jatuh ke level 17.000 per dolar AS, dampaknya akan terasa luas di berbagai sektor:
Inflasi dan Harga Impor
Barang impor, seperti bahan baku industri, elektronik, dan bahan pangan tertentu, akan menjadi lebih mahal. Ini dapat memicu inflasi yang lebih tinggi, menggerus daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.Beban Utang Luar Negeri
Perusahaan swasta dan pemerintah yang memiliki utang dalam dolar AS akan menghadapi biaya pembayaran yang lebih besar. Hal ini bisa mengurangi profitabilitas perusahaan dan menambah tekanan pada anggaran negara.Sentimen Pasar Keuangan
Kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia berpotensi terguncang. Jika outflow modal terus berlanjut, pasar saham dan obligasi domestik akan semakin tertekan, menciptakan efek domino yang memperburuk kondisi ekonomi.
Namun, ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan. Ekspor Indonesia, seperti minyak kelapa sawit dan batu bara, menjadi lebih kompetitif di pasar internasional karena harga dalam dolar yang lebih rendah. Meski demikian, manfaat ini sering kali tidak cukup untuk mengimbangi dampak negatif yang lebih luas.
Langkah Antisipasi dari Otoritas
Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mengambil langkah tegas untuk meredam ancaman ini. Beberapa opsi yang mungkin dilakukan meliputi:
Intervensi di Pasar Valuta Asing
BI dapat menggunakan cadangan devisa untuk membeli rupiah dan menahan laju pelemahannya. Namun, cadangan devisa yang terbatas membuat strategi ini harus digunakan secara hati-hati.Kenaikan Suku Bunga Acuan
Dengan menaikkan suku bunga, BI bisa menarik investor asing untuk kembali memegang aset dalam rupiah. Namun, langkah ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi karena biaya pinjaman akan meningkat.Kebijakan Pengendalian Modal
Regulasi yang lebih ketat terhadap spekulasi mata uang atau arus modal keluar dapat membantu menjaga stabilitas rupiah dalam jangka pendek.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat fundamental ekonomi domestik, seperti meningkatkan kepercayaan investor melalui reformasi struktural dan menjaga stabilitas politik. Tanpa langkah yang terkoordinasi, rupiah berisiko terus terpuruk.
Prospek dan Tantangan ke Depan
Rupiah kini berada di titik kritis. Dengan kombinasi ketidakpastian global—terutama dari kebijakan tarif Trump—dan pesimisme domestik, mata uang ini menghadapi ujian berat. Pertanyaan besar kini mengemuka: akankah Indonesia kembali terjebak dalam bayang-bayang krisis 1998? Respons cepat dari otoritas moneter, perkembangan situasi internasional, dan kepercayaan investor akan menjadi penentu utama nasib rupiah dalam beberapa bulan ke depan.