RUU Pajak Disahkan Senat, Ray Dalio: Bisa Jadi Tolok Ukur Proyeksi Defisit dan Utang AS

7/6/20253 min baca

ray dalio
ray dalio

Jakarta – Pendiri Bridgewater Associates, Ray Dalio, mengeluarkan peringatan keras terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak yang dikenal sebagai "Beautiful Act," yang didukung oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Menurut Dalio, RUU ini, yang baru saja lolos di Senat, dapat menjadi tolok ukur untuk memproyeksikan defisit anggaran, utang pemerintah, dan biaya pembayaran utang AS dalam dekade mendatang. Dalam pernyataan yang diunggah melalui akun X miliknya, Dalio menguraikan dampak fiskal signifikan yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan ini.

Proyeksi Ray Dalio: Defisit Membengkak dan Utang Melonjak

Dalio memproyeksikan bahwa jika "Beautiful Act" resmi diberlakukan, pengeluaran tahunan pemerintah AS akan mencapai sekitar US$7 triliun, sementara pendapatan hanya sebesar US$5 triliun per tahun. Hal ini akan menciptakan defisit tahunan sebesar US$2 triliun. Saat ini, utang nasional AS telah mencapai sekitar 100% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau enam kali lipat pendapatan tahunan pemerintah. Dalam sepuluh tahun ke depan, rasio utang terhadap pendapatan diperkirakan melonjak menjadi 7,5 kali lipat, didorong oleh akumulasi defisit yang terus bertambah.

Lebih lanjut, Dalio memperingatkan bahwa pembayaran bunga dan pokok utang, yang diperkirakan mencapai US$10 triliun dalam jangka panjang, akan memaksa pemerintah melakukan pemangkasan besar-besaran di pasar AS. "Pencetakan uang dan devaluasi mata uang untuk membiayai utang ini tidak baik bagi pemegang obligasi sebagai penyimpan kekayaan," tulis Dalio. Ia menambahkan bahwa efek domino dari kebijakan ini akan merusak pasar kredit AS, yang menjadi tulang punggung pasar modal global dan mendukung stabilitas ekonomi serta sosial dunia.

Preseden Historis: Pelajaran dari Tax Cuts and Jobs Act 2017

Peringatan Dalio bukanlah hal baru dalam debat kebijakan fiskal AS. Sebagai perbandingan, Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Pekerjaan 2017 (Tax Cuts and Jobs Act), yang juga didukung oleh Trump, memberikan gambaran nyata tentang dampak kebijakan serupa. Menurut Kantor Anggaran Kongres (CBO), undang-undang tersebut menambah defisit AS sebesar US$1,9 triliun dalam kurun waktu sepuluh tahun. Meskipun pendukungnya mengklaim bahwa pemotongan pajak akan memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak, data CBO menunjukkan bahwa efek stimulasi tersebut tidak cukup untuk mengimbangi hilangnya pendapatan, sehingga defisit terus membengkak.

Saat ini, utang nasional AS telah melampaui US$36,2 triliun (per Oktober 2023, menurut Departemen Keuangan AS), jauh lebih tinggi dibandingkan US$28 triliun pada 2021. Dengan pengesahan "Beautiful Act," CBO memperkirakan tambahan defisit sebesar US$3,3 triliun dalam dekade mendatang, memperburuk situasi fiskal yang sudah tegang.

Pandangan Ekonom Lain: Kekhawatiran yang Menggema

Dalio bukan satu-satunya yang menyuarakan kekhawatiran. Mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers, pernah menulis dalam sebuah opini di The Washington Post pada 2020, "AS berada di jalur fiskal yang tidak berkelanjutan. Defisit primer terus membesar, dan rasio utang terhadap PDB telah mencapai level tertinggi sejak Perang Dunia II." Summers memperingatkan bahwa defisit yang tidak terkendali dapat memicu kenaikan suku bunga, mengurangi investasi swasta, dan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Ekonom pemenang Nobel, Paul Krugman, juga mengomentari risiko kebijakan fiskal ekspansif dalam kolomnya di The New York Times. Ia menekankan bahwa meskipun stimulus fiskal dapat bermanfaat dalam situasi resesi, defisit yang berlebihan di masa pertumbuhan ekonomi dapat membebani generasi mendatang dengan utang yang sulit dilunasi.

Dampak Ekonomi: Suku Bunga, Inflasi, dan Ketidakstabilan Global

Para ekonom sepakat bahwa defisit yang terus meningkat dapat memicu efek berantai. Ketika pemerintah meminjam lebih banyak untuk membiayai pengeluaran, ia bersaing dengan sektor swasta untuk mendapatkan modal, yang dapat mendorong suku bunga naik. Kenaikan suku bunga ini berpotensi "mengusir" investasi swasta, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen dan bisnis.

Selain itu, jika pemerintah memilih untuk mencetak uang guna membiayai utang—seperti yang dikhawatirkan Dalio—hal ini dapat memicu inflasi. Inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli masyarakat dan mengurangi nilai riil obligasi pemerintah, merugikan investor dan pemegang aset tetap. Dalam skenario terburuk, ketidakstabilan di pasar Treasury AS dapat mengguncang pasar modal global, mengingat obligasi AS dianggap sebagai aset aman utama di seluruh dunia.

Solusi Dalio dan Tantangan Politik

Untuk menghindari dampak buruk tersebut, Dalio menyarankan agar defisit anggaran diturunkan dari sekitar 7% menjadi 3% dari PDB. Langkah ini, menurutnya, memerlukan penyesuaian besar dalam pengeluaran pemerintah, kebijakan pajak, dan suku bunga. Namun, ia mengakui bahwa solusi ini akan sulit diterapkan secara politik. Pemangkasan anggaran atau kenaikan pajak sering kali menuai resistensi dari legislatif dan publik, terutama di tengah tuntutan untuk meningkatkan belanja sosial dan infrastruktur.

Kesimpulan: Risiko Jangka Panjang vs Manfaat Jangka Pendek

Pengesahan "Beautiful Act" oleh Senat menandai langkah besar dalam agenda fiskal Trump, namun peringatan dari Ray Dalio dan ekonom lainnya menyoroti risiko yang menyertainya. Meskipun RUU ini dapat memberikan dorongan ekonomi jangka pendek melalui pengeluaran besar, konsekuensi jangka panjang—defisit yang membengkak, utang yang tidak terkendali, dan potensi krisis ekonomi—mengundang pertanyaan tentang keberlanjutannya. Keputusan ke depan akan bergantung pada kemampuan pemerintah AS untuk menyeimbangkan ambisi fiskal dengan stabilitas ekonomi.