Surplus Perdagangan RI-AS Capai US$14 Miliar, Indonesia Tawarkan Impor US$19 Miliar Kepada AS

4/18/20252 min baca

blue and red cargo ship on dock during daytime
blue and red cargo ship on dock during daytime

Jakarta, 9 April 2025 – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan yang cukup besar dengan Amerika Serikat (AS), yakni berkisar antara US$14 miliar hingga US$15 miliar, berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar pada hari Rabu, 9 April 2025, di Jakarta. Surplus tersebut menjadi sorotan utama di tengah tekanan kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, terhadap produk-produk Indonesia.

Latar Belakang Surplus dan Ancaman Tarif

Surplus perdagangan yang signifikan ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang cukup sensitif dalam hubungan dagang dengan AS. Menurut Bahlil, nilai surplus tersebut mencerminkan ketidakseimbangan perdagangan yang menjadi perhatian utama bagi pemerintah AS. "Kami menyadari bahwa surplus perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat mencapai US$14 miliar sampai US$15 miliar menurut data BPS. Ini menjadi dasar bagi kami untuk mencari solusi yang saling menguntungkan," ungkap Bahlil dalam konferensinya.

Sebagai respons terhadap surplus ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor sebesar 32% terhadap barang-barang asal Indonesia pada awal April 2025. Kebijakan ini diyakini merupakan bagian dari strategi AS untuk mengurangi defisit perdagangan mereka dengan berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahlil menegaskan bahwa langkah strategis perlu segera diambil untuk menjaga stabilitas hubungan dagang kedua negara sekaligus melindungi kepentingan ekonomi nasional.

Penawaran Impor US$19 Miliar sebagai Solusi

Untuk menetralkan dampak tarif dan menyeimbangkan neraca perdagangan, tim negosiasi Indonesia mengusulkan peningkatan impor dari AS senilai US$19 miliar. Penawaran ini mencakup dua sektor utama, yaitu energi dan pangan, dengan alokasi terbesar dialokasikan untuk sektor energi sebesar US$10 miliar. Dalam sektor energi, impor yang diutamakan meliputi gas alam cair (LNG) dan minyak mentah, yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan domestik sekaligus mendukung ketahanan energi nasional.

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2024, Indonesia telah mengimpor Liquefied Propane and Butane (LPG) dan minyak mentah dari AS dengan total nilai US$2,4 miliar. Dengan penawaran baru ini, nilai impor di sektor energi diperkirakan akan melonjak lebih dari empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. "Kami menawarkan impor energi senilai US$10 miliar sebagai bagian dari strategi besar untuk menjaga keseimbangan perdagangan dan memperkuat hubungan bilateral," tambah Bahlil.

Selain sektor energi, pemerintah juga berencana meningkatkan impor produk pangan dari AS, meskipun rincian komoditas spesifik belum diumumkan secara terperinci. Langkah ini diharapkan dapat meredam ketegangan akibat kebijakan tarif Trump sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi kedua belah pihak.

Dampak Ekonomi dan Tantangan ke Depan

Penawaran impor senilai US$19 miliar ini dinilai sebagai langkah proaktif untuk menghindari dampak buruk dari tarif 32% yang diberlakukan AS. Namun, para analis ekonomi memperingatkan bahwa peningkatan impor dalam jumlah besar perlu diimbangi dengan strategi yang matang agar tidak merugikan sektor domestik, terutama industri yang bergantung pada bahan baku lokal. "Kenaikan impor energi bisa menjadi peluang untuk memperkuat ketahanan energi, tetapi kita harus pastikan industri dalam negeri tetap kompetitif," ujar salah satu ekonom senior.

Di sisi lain, langkah ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk mendiversifikasi sumber energi dan mendukung transisi menuju energi yang lebih berkelanjutan. Dengan meningkatkan impor LNG, misalnya, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil tertentu sambil memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat.

Harapan dari Negosiasi

Keberhasilan negosiasi ini akan sangat menentukan arah hubungan dagang Indonesia-AS ke depan. Pemerintah Indonesia optimistis bahwa penawaran ini dapat meredakan tekanan tarif dan menciptakan keseimbangan perdagangan yang lebih adil. "Kami ingin hubungan dagang yang harmonis dengan AS, dan langkah ini adalah wujud komitmen kami untuk mencapai tujuan tersebut," tegas Bahlil.

Meski demikian, dampak nyata dari strategi ini masih akan bergantung pada respons pemerintah AS dan dinamika perdagangan global yang terus berubah. Indonesia kini berada di persimpangan penting untuk membuktikan daya saingnya di pasar internasional sambil menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri.